TANGGAL Masehi 15 Juni 2022 atau tanggal Jawa 15 Sela 1955 – Alip, hari Rabu dengan pasaran Pahing dan wuku Kuningan, diperkirakan banyak pihak sebagai hari pilihan Presiden Joko Widodo untuk mengumumkan kebijakan penting.
Perkiraan ini merujuk kepada pengalaman sebelumnya. Kalau tidak Rabu Pahing, ada kalanya Rabu Pon.
Atas dasar itulah muncul rumor, kalau toh Presiden akan melakukan reshuffle (pergantian anggota kabinet), bisa jadi diumumkan Rabu Pahing.
Maka, hari-hari ini media ramai memprediksikan siapa yang bakal kena reshuffle dan siapa yang akan masuk ke kabinet.
Media pun mengkaitkan dengan sejumlah menteri dan pejabat tinggi yang dipanggil Presiden Jokowi sepanjang Selasa (14/6/2022).
Ada atau tidak ada reshuffle, tetap saja muncul pertanyaan, reshuffle itu buat siapa? Untuk rakyat? Atau untuk parpol?
Sebab, isu reshuffle kali ini dikaitkan dengan ujung masa jabatan Jokowi. Kata pengamat politik, dua tahun lagi Jokowi meninggalkan Istana dan sekarang merupakan saat yang tepat untuk balas budi kepada orang-orang dekatnya yang loyal mendukungnya, tetapi belum kebagian kursi empuk.
Kalau itu alasan reshuffle, maka terjawab sudah, buat apa ada reshuffle? Buat mengakomodasi politik balas budi.
Artinya, kepentingan rakyat diabaikan. Dalam pandangan filsafat moral, reshuffle macam ini cuma mengedepankan "kerja".
Apa makna "kerja" dari kacamata filsafat moral? Kerja, dalam pengertian biasa, adalah kegiatan melakukan sesuatu; atau sesuatu yang dilakukan untuk mencari nafkah (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2001:554).
Jadi jika memperhatikan pengertian itu, menteri yang sekadar bekerja bermaksud melakukan sesuatu untuk mencari nafkah.
Pengertian itu tidak mengandung kepentingan orang banyak karena nafkah itu lebih untuk kepentingan diri sendiri atau keluarga.
Jika dikaji lebih dalam lagi, yakni dengan memakai bingkai etika, akan lebih kelihatan bahwa kata kerja cenderung mengutamakan urusan perut.
Filsuf Hannah Arendt sangat jelas memaparkan pengertian kerja tersebut. Kerja, menurut Arendt, merupakan tuntutan agar manusia bisa hidup.
Dalam hidupnya, manusia memunyai kebutuhan dasariah dan lewat kerja segala kebutuhan dasariah ini dipenuhi. Maka, "saya bekerja", karena "saya ingin memenuhi kebutuhan hidup".