Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Fortunatus Hamsah Manah
Komisioner Bawaslu Manggarai

Koordinator Divisi Hukum, Penindakan Pelanggaran dan Penyelesaian Sengketa Bawaslu Kabupaten Manggarai, Provinsi NTT

Bawaslu dan Konsepsi Badan Peradilan Khusus Pemilu

Kompas.com - 09/06/2022, 10:33 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

KETIKA wacana pembentukan Badan Peradilan Khusus Pemilu pertama kali mencuat, penyikapan atas wacana ini direspons beragam, bahkan tidak lepas dari perdebatan. Di satu pihak ada yang mendukung, di pihak lain tak sedikit yang menolak. Pihak yang mendukung berargumen, kemendesakan pembentukan peradilan khusus menjadi keharusan demi menyikapi adanya benturan dan tarik ulur kewenangan antar lembaga peradilan yaitu Mahkamah Konstitusi (MK) dan Mahkamah Agung (MA).

Pihak yang menolak berpendapat, pembentukan peradilan khusus pemilu dan pilkada belum dibutuhkan mengingat MK masih mempunyai kewenangan untuk menanganinya. Selain itu, dalam Pasal 15 UU Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman telah ditegaskan bahwa pengadilan khusus hanya dapat dibentuk dalam salah satu lingkungan peradilan.

Baca juga: Komisioner KPU Dorong Pembentukan Badan Peradilan Khusus Pemilu

Polemik pembentukan peradilan khusus pemilu semakin mendapat tempatnya ketika disahkannya Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang- undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Wali kota menjadi undang-undang.

Pasal 157 ayat 1 UU itu mengamanatkan bahwa perkara perselisihan hasil pemilihan diperiksa dan diadili oleh badan peradilan khusus. Berdasarkan ayat 2, badan peradilan khusus sebagaimana dimaksud dibentuk sebelum pelaksanaan pemilihan serentak nasional.

MK sebagai peradilan sengketa hasil pemilu

Kewenangan MK untuk menyelesaikan hasil pemilu diatur dalam Pasal 24C ayat 1 UUD 1945. Dalam pasal 22E ayat 2 UUD 1945 dijelaskan, pemilu diselenggarakan untuk memilih anggota DPR, DPD, presiden, dan wakil presiden, serta DPRD. Oleh karenanya, dalam UU Nomor 23 Tahun 2004 tentang MK pun ditegaskan, yang dimaksud perselisihan hasil pemilu adalah pemilu legislatif dan pemilu presiden.

Kewenangan penyelesaian sengketa pemilu mengalami perluasan mencakup pula perselisihan hasil pemilukada. Dalam uji materi Perkara No. 072-073/PUUII/2004, MK berpendapat bahwa rezim pilkada langsung, walaupun secara formal ditentukan oleh pembentuk undang-undang bukan merupakan rezim pemilu, tetapi secara substantif adalah pemilu, sehingga penyelenggaraannya harus memenuhi asas-asas konstitusional pemilu. Putusan tersebut memengaruhi pembentuk undang-undang untuk melakukan pergeseran pemilukada menjadi bagian dari pemilu. Oleh karena itu, pemilukada didefinisikan sebagai pemilihan umum untuk memilih kepala daerah dan wakil kepala daerah secara langsung.

Pengisian jabatan kepala daerah secara langsung yang semula menjadi bagian dari sistem otonomi daerah bergeser menjadi bagian dari sistem pemilu yang penyelenggaraannya di bawah koordinasi KPU secara nasional. Dengan perubahan tersebut, kewenangan penyelesaian sengketa perselisihan hasil pemilukada dari MA dialihkan ke MK, sama halnya dengan penyelesaian sengketa hasil pemilu pada umumnya.

Peralihan kewenangan mengadili yang dijalankan MK sejak akhir tahun 2008 beberapa kali diuji konstitusionalitasnya. Pada uji materi dalam perkara No. 97/PUU-XI/2013, MK menyatakan tidak berwewenang mengadili perselisihan hasil pemilukada. Dalam pertimbangan hukum putusan tersebut, MK berpendapat bahwa pemilukada sesuai Pasal 18 UUD 1945 yang masuk dalam rezim pemerintahan daerah adalah tepat.

Meski tidak tertutup kemungkinan pemilukada diatur dalam UU tersendiri, tetapi tidak masuk dalam rezim pemilu seperti diatur Pasal 22E UUD 1945 yang harus dimaknai secara limitatif untuk memilih anggota DPR, DPR, DPRD, presiden dan wakil presiden yang dilaksanakan lima tahun sekali. Makna ini yang dipegang teguh dalam putusan MK No. 97/PUU/XI/2013. Jika memasukan pemilukada sebagai bagian dari pemilu dan menjadi wewenang MK dalam penyelesaian perselisihan hasil, maka tidak sesuai dengan makna original intent dari pemilu. Penambahan kewenangan MK untuk mengadili perkara perselisihan hasil pilkada dengan memperluas makna pemilu seperti diatur dalam Pasal 22E UUD 1945 adalah inkonstitusional.

Baca juga: Jimly: Ada yang Usulkan, DKPP Saja yang Jadi Peradilan Khusus Pemilu

Meski MK tidak lagi berwewenang mengadili sengketa pemilukada, semua putusan pemilukada tetap dinyatakan sah karena sebelum diuji, kedua pasal tersebut merupakan produk hukum yang sah. Sepanjang belum diberlakukan UU Pilkada yang baru, MK menyatakan masih berwewenang mengadili sengketa hasil pemilukada.

Pada akhir masa bakti lembaga legislatif periode 2009-2014, terjadi perubahan kebijakan politik hukum, dengan diberlakukannya pemilihan gubernur, bupati, dan walikota secara tidak langsung melalui DPRD. Perubahan mekanisme pemilihan tersebut mendapat reaksi penolakan secara luas dari masyarakat. Menangkap reaksi tersebut, Presiden mencabut pemberlakuan aturan pilkada tidak langsung dengan menerbitkan Perppu Nomor 1 Tahun 2014. Dalam Perppu yang mengembalikan mekanisme pemilihan secara langsung tersebut, hanya gubernur, bupati, walikota yang dipilih, sedangkan wakilnya tidak dipilih secara berpasangan.

Dalam Perppu yang ditetapkan menjadi UU Nomor 1 Tahun 2015 dalam persidangan DPR masa bakti berikutnya, Pengadilan Tinggi diberi wewenang untuk mengadili perselisihan hasil pemilihan, dan dapat diajukan keberatan ke MA. Batasan perselisihan hasil yang dapat diajukan adalah perselisihan penetapan perolehan suara yang signifikan dan dapat memengaruhi penetapan calon untuk maju ke putaran berikut atau memengaruhi penetapan calon terpilih.

Belum sempat diimplementasikan, beberapa ketentuan dalam UU Nomor 1 Tahun 2015 mengalami perubahan dan penyempurnaan. Beberapa materi perubahan di antaranya tentang penyelenggaraan pemilihan menjadi secara serentak dan mekanisme penyelesaian sengketa hasil pemilihan melalui badan peradilan khusus. Namun, UU ini tidak menegaskan kedudukan badan peradilan khusus pemilu berada di lingkungan peradilan umum maupun peradilan TUN.

UU itu juga menegaskan, selama peradilan khusus belum terbentuk, MK berwenang menyelesaikan perselisihan hasil pemilihan. Istilah ‘pemilihan’ digunakan UU ini untuk menyebut pemilukada.

Bawaslu menuju Badan Peradilan Khusus Pemilu

Gagasan tentang peradilan khusus pemilu menjadi relevan dipertimbangkan karena upaya hukum dalam tahapan pemilu yang terjadi selama ini seringkali tidak dapat memenuhi rasa keadilan masyarakat. Misalnya, terkait berlapis-lapisnya upaya hukum pemilu sehingga kontraproduktif dengan tahapan pemilu yang dibatasi jangka waktu. (Fritz Edward Siregar:2019).

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Dewas Akan Sidangkan Dugaan Pelanggaran Etik Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron 2 Mei

Dewas Akan Sidangkan Dugaan Pelanggaran Etik Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron 2 Mei

Nasional
Prabowo-Gibran Tiba di Istana untuk Bertemu Jokowi

Prabowo-Gibran Tiba di Istana untuk Bertemu Jokowi

Nasional
AHY Sebut Lahan 2.086 Hektare di IKN Belum 'Clear', Masih Dihuni Warga

AHY Sebut Lahan 2.086 Hektare di IKN Belum "Clear", Masih Dihuni Warga

Nasional
Tak Persoalkan PKB Ingin Kerja Sama dengan Prabowo, PKS: Kita Enggak Jauh-jauh

Tak Persoalkan PKB Ingin Kerja Sama dengan Prabowo, PKS: Kita Enggak Jauh-jauh

Nasional
Bapanas Prediksi Harga Bawang Merah Normal 30-40 Hari ke Depan

Bapanas Prediksi Harga Bawang Merah Normal 30-40 Hari ke Depan

Nasional
PKS Jajaki Komunikasi dengan Prabowo

PKS Jajaki Komunikasi dengan Prabowo

Nasional
Dewas Harap Wakil Ketua KPK Laporkan Albertina Ho Bukan karena Sedang Tersangkut Kasus Etik

Dewas Harap Wakil Ketua KPK Laporkan Albertina Ho Bukan karena Sedang Tersangkut Kasus Etik

Nasional
Wapres Ma'ruf Amin Tak Titip Program Tertentu untuk Dilanjutkan Gibran

Wapres Ma'ruf Amin Tak Titip Program Tertentu untuk Dilanjutkan Gibran

Nasional
Gibran Minta Petuah Saat Sowan ke Wapres Ma'fuf Amin

Gibran Minta Petuah Saat Sowan ke Wapres Ma'fuf Amin

Nasional
Tantang PDI-P Tarik Semua Menteri Usai Sebut Jokowi Bukan Kader Lagi, TKN: Daripada Capek-capek PTUN

Tantang PDI-P Tarik Semua Menteri Usai Sebut Jokowi Bukan Kader Lagi, TKN: Daripada Capek-capek PTUN

Nasional
Relaksasi HET Beras Premium Diperpanjang hingga 31 Mei 2024

Relaksasi HET Beras Premium Diperpanjang hingga 31 Mei 2024

Nasional
Gibran Disebut Masih Fokus di Solo, Undang Wapres Ma'ruf Resmikan Destinasi Wisata

Gibran Disebut Masih Fokus di Solo, Undang Wapres Ma'ruf Resmikan Destinasi Wisata

Nasional
Dewas Ungkap Klarifikasi Albertina Ho yang Dilaporkan Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron

Dewas Ungkap Klarifikasi Albertina Ho yang Dilaporkan Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron

Nasional
Nasdem-PKS Jajaki Kerja Sama di Pilkada DKI, Termasuk Opsi Usung Anies

Nasdem-PKS Jajaki Kerja Sama di Pilkada DKI, Termasuk Opsi Usung Anies

Nasional
KPK Duga Hakim Agung Gazalba Saleh Cuci Uang Rp 20 Miliar

KPK Duga Hakim Agung Gazalba Saleh Cuci Uang Rp 20 Miliar

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com