Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Indonesian Insight Kompas
Kelindan arsip, data, analisis, dan peristiwa

Arsip Kompas berkelindan dengan olah data, analisis, dan atau peristiwa kenyataan hari ini membangun sebuah cerita. Masa lalu dan masa kini tak pernah benar-benar terputus. Ikhtiar Kompas.com menyongsong masa depan berbekal catatan hingga hari ini, termasuk dari kekayaan Arsip Kompas.

Sebelum Borobudur Ada

Kompas.com - 09/06/2022, 08:22 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

BOROBUDUR. Menyebut satu kata ini, apa yang sontak terlintas di kepala? Candi, kawasan, pengetahuan, teknologi tinggi?

Sudjoko, mendiang Guru Besar Emeritus Fakultas Seni Rupa dan Desain (FSRD) Institut Teknologi Bandung (ITB) pernah menggelitik pengetahuan kita soal Indonesia—apa pun penyebutannya dulu—dengan menjadikan Borobudur sebagai acuan.

Sebelum Candi Borobudur berdiri, kira-kira begini pemikiran Sudjoko, Indonesia sudah merupakan sesuatu. Bukan sembarang sesuatu pula, melainkan sesuatu yang besar.

Apa buktinya?

Referensi pertama yang disodorkan Sudjoko dalam tulisan berjudul Sebelum Borobudur Berdiri adalah Prasasti Nalanda. Diperkirakan dibuat pada tahun 850, prasasti ini bertutur tentang permintaan pembangunan asrama untuk pelajar Indonesia—dengan sebutan nama saat itu—di Nalanda.

Permintaan itu dibuat oleh Maharaja Balaputradewa, penguasa Swarnadwipa. Swarnadwipa adalah penyebutan lawas untuk Sumatera.

Baca juga: Hari Nusantara, Kenali Nama Lawas 5 Pulau Besar di Indonesia

Karena diminta oleh raja, skala dan kualitas asrama semestinya tidak asal-asalan saja, bukan?

Saat Sudjoko menulis ini dan tayang di harian Kompas edisi 23 Februari 1983, dia menyebutkan bahwa memang belum ada bukti tambahan bahwa asrama permintaan maharaja ini merupakan satu-satunya untuk pelajar nusantara.

Namun, menurut dia, sebelum permintaan itu sudah ada banyak pelajar Indonesia di Nalanda.

Analogi Sudjoko, saat Indonesia di bawah kolonialisme Belanda saja, dalam kondisi ekonomi sebagai negara jajahan, anak bangsa seperti Sosrokartono dan Mohammad Hatta bisa belajar ke Eropa yang lokasinya lebih jauh dari Nalanda.

Baca juga: Bung Hatta dan Asal-usul Nama Indonesia

Lalu, di manakah Nalanda?

Nalanda ada di India, di tepi Sungai Gangga, yang saat itu berada di wilayah Kerajaan Magadha. Namun, Nalanda masuk wilayah Kerajaan Gupta.

Di Nalanda, pada 850 ada perguruan tinggi Buddha yang telah berusia lebih dari empat abad. Berdiri pada 414, perguruan ini merupakan yang terbaik sedunia pada saat itu.

Pelajar-pelajar terpintar dari Roma pun belajar ke sini pada waktu itu. Literatur yang tersedia konon juga merupakan mahakarya.

Tangkap layar artikel mendiang Guru Besar Emeritus FSRD ITB, Sudjoko, di harian Kompas edisi 23 Februari 1983, berjudul Sebelum Borobudur Berdiri.ARSIP KOMPAS Tangkap layar artikel mendiang Guru Besar Emeritus FSRD ITB, Sudjoko, di harian Kompas edisi 23 Februari 1983, berjudul Sebelum Borobudur Berdiri.

Yang dipelajari di perguruan tinggi di Nalanda juga tak sebatas ilmu agama. Salah satu sumber rujukan penulisan historiografi Indonesia, I-tsing, pada abad ke-7 menyatakan bahwa kampus Nalanda punya kurikulum yang mencakup politik, matematika, ekonomi, astronomi, dan banyak lagi.

Menurut I-tsing, biksu yang antara lain mendalami agama Buddha di Indonesia, ilmu agama yang dipelajari di Nalanda pun tak cuma Buddha.

Baca juga: Soekarno, BPUPK, Wasiat Hatta, dan Naskah Pidato Lahirnya Pancasila

Nah, apa kaitannya dengan Indonesia?

I-tsing kembali menjadi penghubung fakta Nalanda dan Indonesia. Bagi I-tsing yang adalah pembelajar ini, India ya Nalanda.

Lalu, Indonesia pada saat itu bagi I-tsing adalah wilayah kekuasaan Sriwijaya. Dia belajar di Universitas Sriwijaya pada masanya. 

Sudjoko lagi-lagi mengkritik pendapat yang menyebut kampus I-tsing itu semata tempat pembelajaran agama Buddha. 

"Mentang-mentang I-tsing menyebutnya sebagai pusat kajian Buddhisme di kepulauan selatan, kita lalu menyangka bahwa di kampus Sriwijaya itu cuma bisa dipelajari agama," tulis Sudjoko.

Baca juga: I-Tsing, Biksu China yang Memperdalam Agama Buddha di Sriwijaya

Padahal, lanjut Sudjoko, I-tsing pun jelas-jelas menuliskan pula di catatannya bahwa kampus tersebut ada lebih dari seribu bikhu—penyebutan lain untuk biksu berdasarkan aliran dalam ajaran agama Buddha—yang jiwanya dipusatkan pada ilmu dan amal.

"Mereka meneliti dan memperbincangkan segala macam ilmu, sama seperti di India...," tulis Sudjoko mengutip kelanjutan catatan I-tsing.

Kembali ke fakta bahwa Indonesia dalam versi apa pun sebelum menggunakan nama ini merupakan sesuatu yang besar bahkan sebelum Borobudur ada, Sudjoko mencuplikkan pula gambaran pengelana yang menyambangi kawasan ini pada 414.

Bersamaan dengan perkiraan waktu berdirinya kampus di Nalanda, ada pengelana bernama Fahien yang terdampar di Pulau Jawa. OK, Fahien lupa menulis soal ekonomi wilayah ini karena terlalu dongkol—sebut Sudjoko—dengan musibah yang dia alami.

Baca juga: Tradisi Waisak di Ngroto Sumogawe: Dari Sungkeman, Kenduren, sampai Lebaran Waisak

Namun, lanjut Sudjoko, ada kitab-kitab seperti wangsa Liang (berkuasa pada kurun 502-556) dan T'ang (618-906) menyebut wilayah yang kini bernama Indonesia sebagai kaya raya dan gemerlapan.

Bahkan, tutur Sudjoko, Prof Jam Romein dalam Geschiedenis der Mensheid jilid II  halaman 428 menyatakan bahwa wilayah Kerajaan Kediri pada abad ke-12 merupakan yang terkaya sedunia. Na het Arabische kalifaat het rijkste land ter wereld. 

Padahal, seberapakah wilayah Kerajaan Kediri?

Pengagum Sosrokartono—kakak Kartini yang "hilang" dari referensi dan literatur Indonesia—ini menggelitik mentalitas kita dalam memandang identitas dan kapasitas diri sendiri.

Bukan semata bernostalgia atas gemilang masa silam, Sudjoko mengajak kita untuk lebih tinggi memaknai akar dan kemampuan bangsa.

Kabut berarak di sekitar Candi Borobudur, magelang, Jawa Tengah.KOMPAS IMAGES / FIKRIA HIDAYAT Kabut berarak di sekitar Candi Borobudur, magelang, Jawa Tengah.

Sebelum Borobudur ada, kita sudah menjadi bangsa dengan kultur pembelajar. Mengirimkan anak-anak bangsa belajar hingga Nalanda saja sudah memperlihatkan di negeri sendiri pun ada tempat-tempat belajar terlebih dahulu. 

Salah juga bila mengira hanya Nalanda tujuan belajar pada masa-masa sejak sebelum Borobudur ada itu. Sudjoko mengingatkan, kampus Nalanda hanya menampung tak lebih dari 10.000 pelajar. Pada rentang waktu yang sama, ada banyak kampus ternama lain juga di dunia.

Kalau pada suatu masa sebelum Borobudur ada saja kita pernah jaya, masak sekarang tidak bisa?

Kalau belajar dan mendalami ilmu sudah menjadi bagian dari kehidupan bangsa ini sejak sebelum Borobudur ada, mengapa tak kita lanjutkan dan kembali kita berjaya dengannya?

Tabik.

Naskah: KOMPAS.com/PALUPI ANNISA AULIANI

Catatan: Artikel harian Kompas yang dikutip dalam tulisan ini dapat diakses penuh publik melalui layanan Kompas Data

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

PPP Siap Gabung Pemerintahan Prabowo, Golkar: Nanti Dibahas di Internal KIM

PPP Siap Gabung Pemerintahan Prabowo, Golkar: Nanti Dibahas di Internal KIM

Nasional
Serahkan Kesimpulan ke MK, Kubu Ganjar-Mahfud Tegaskan Tetap pada Petitum Awal

Serahkan Kesimpulan ke MK, Kubu Ganjar-Mahfud Tegaskan Tetap pada Petitum Awal

Nasional
Tim Ganjar-Mahfud Serahkan Kesimpulan ke MK, Sebut 5 Pelanggaran yang Haruskan Pilpres Diulang

Tim Ganjar-Mahfud Serahkan Kesimpulan ke MK, Sebut 5 Pelanggaran yang Haruskan Pilpres Diulang

Nasional
3 Cara Isi Saldo JakCard

3 Cara Isi Saldo JakCard

Nasional
Waspadai Dampak Perang Israel-Iran, Said Minta Pemerintah Lakukan 5 Langkah Strategis Ini

Waspadai Dampak Perang Israel-Iran, Said Minta Pemerintah Lakukan 5 Langkah Strategis Ini

Nasional
Mahasiswa Hukum Empat Kampus Serahkan 'Amici Curiae', Minta MK Batalkan Hasil Pemilu

Mahasiswa Hukum Empat Kampus Serahkan "Amici Curiae", Minta MK Batalkan Hasil Pemilu

Nasional
MA Tolak Kasasi Bambang Kayun

MA Tolak Kasasi Bambang Kayun

Nasional
Polri: Puncak Arus Balik Sudah Terlewati, 30 Persen Pemudik Belum Kembali ke Jakarta

Polri: Puncak Arus Balik Sudah Terlewati, 30 Persen Pemudik Belum Kembali ke Jakarta

Nasional
Serahkan Kesimpulan ke MK, Bawaslu Jawab Dalil soal Pendaftaran Gibran dan Politisasi Bansos

Serahkan Kesimpulan ke MK, Bawaslu Jawab Dalil soal Pendaftaran Gibran dan Politisasi Bansos

Nasional
Jadi Tersangka KPK, Bupati Sidoarjo Gus Muhdlor Punya Harta Rp 4,7 M

Jadi Tersangka KPK, Bupati Sidoarjo Gus Muhdlor Punya Harta Rp 4,7 M

Nasional
KPK Cegah Bupati Sidoarjo Gus Muhdlor ke Luar Negeri

KPK Cegah Bupati Sidoarjo Gus Muhdlor ke Luar Negeri

Nasional
KPK Perpanjang Masa Penahanan Dua Eks Anak Buah Gus Muhdlor

KPK Perpanjang Masa Penahanan Dua Eks Anak Buah Gus Muhdlor

Nasional
Gelar Peninjauan di Pelabuhan Panjang dan Bakauheni, Jasa Raharja Pastikan Kelancaran Arus Balik di Wilayah Lampung

Gelar Peninjauan di Pelabuhan Panjang dan Bakauheni, Jasa Raharja Pastikan Kelancaran Arus Balik di Wilayah Lampung

Nasional
Urgensi Politik Gagasan pada Pilkada 2024

Urgensi Politik Gagasan pada Pilkada 2024

Nasional
Bersama Menko PMK dan Menhub, Dirut Jasa Raharja Lepas Arus Balik “One Way” Tol Kalikangkung

Bersama Menko PMK dan Menhub, Dirut Jasa Raharja Lepas Arus Balik “One Way” Tol Kalikangkung

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com