WACANA kenaikan tarif naik Candi Borobudur menjadi Rp 750.000 bagi turis lokal sontak menuai polemik.
Pada puncak polemik, tarif ini bersanding dengan UMR Yogyakarta menjadi trending topic Twitter di Indonesia.
Para netizen menjadikan UMR itu sebagai komparasi untuk menakar seberapa mahal wacana tarif untuk bisa menapaki undak demi undak hingga ke puncak Candi Borobudur.
Meski Candi Borobudur berlokasi di Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, paket wisata cenderung memasukkannya ke grup destinasi wilayah Yogyakarta.
Klop.
Baca juga: Sebelum Borobudur Ada
Wacana tarif Rp 750.000 itu sempat jadi polemik dengan tebaran meme di media sosial karena dikira harga untuk tiket mengakses seluruh kawasan wisata.
Belakangan muncul penjelasan bahwa wacana itu hanya untuk wisatawan lokal yang naik menapaki Candi Borobudur, bukan kompleks apalagi kawasan Borobudur.
Pertanyaannya, mengapa harus ada tarif super duper mahal untuk menaiki Candi Borobudur?
Pertanyaan itu berjawab fakta dari arsip dan data. Kelakuan wisatawan, terutama terindikasi turis lokal, berdampak buruk bagi kelestarian Candi Borobudur.
Baca juga: Jangan Ditiru! Kelakuan Buruk Turis Indonesia di Candi Borobudur
Dari jumlah kaki yang menapaki candi saja sudah membebani. Namun, yang lebih-lebih lagi menjadi persoalan adalah perilaku sebagian wisatawan ini.
Temuan tempelan permen karet hingga batu candi yang bergeser semata demi euforia memajang diri di media sosial dengan obyek candi sebagai latar adalah persoalan besar.
Berdasarkan arsip pemberitaan Kompas.com pada 2017, kapasitas injak Candi Borobudur hanyalah untuk 123 orang dalam satu waktu. Halaman kompleks candi pun ditakar hanya sanggup mendukung 528 orang dalam satu waktu.
Adapun takaran daya tampung taman di sekeliling candi adalah 10.308 orang dalam satu waktu. Praktiknya, pada libur lebaran tahun itu saja Candi Borobudur didatangi sekitar 56.000 wisatawan dalam sehari.
Baca juga: Cegah Kerusakan, Sebetulnya Berapa Kapasitas Pengunjung Candi Borobudur?
Paradoks situasi di Candi Borobudur juga telah menjadi bahan sejumlah riset. Salah satunya ditulis bersama oleh Cerry Surya Pradana, Carlos Iban, dan R Setyastama.
Tayang di Journal of Indonesian Tourism and Development Studies Volume 8 No 2 2020, mereka bertiga menulis paper berjudul Tourism Impact on Conservation and Utilization of Borobudur Temple After Being Declared as Ten New Bali Tourist Destination in Indonesia.
Sejumlah paradoks kebijakan dipotret dalam tulisan itu, tak hanya dari sisi wisatawan yang abai pada pelestarian obyek wisata tetapi juga dari sejumlah perspektif lain terkait candi peninggalan wangsa Syailendra ini.
Fenomena Candi Borobudur sejatinya hanya satu cermin dari paradoks pariwisata Indonesia. Sejauh ini, pariwisata Indonesia masih didominasi destinasi wisata alam dan kesejarahan.
Dalam wujud destinasi yang mana pun itu, kerusakan jadi potret buram. Ketika kesadaran untuk merawat harus diakui belum terbangun, pariwisata kadung menjadi sumber pundi-pundi di tengah tersendatnya sumber-sumber penghasilan berkelanjutan.
Pandemi Covid-19 memperlihatkan betapa perekonomian daerah-daerah yang menjadi destinasi utama dan mengandalkan pariwisata itu kolaps. Hingga tulisan ini tayang pun ekonomi Bali—sebagai destinasi kasta tertinggi di Indonesia—belum bisa dibilang pulih.
Baca juga: Arti PPKM Level 3 Bali bagi Ekonomi Bali dan Indonesia
Ketika industrialisasi mampat di negeri ini, pariwisata menjadi salah satu primadona yang digadang-gadang. Tinggal "menjual" pesona alam dan atau peninggalan nenek moyang, bukan?
Ini kurang lebih berasa sama dengan dogma bahwa UMKM adalah penyelamat perekonomian nasional ketika Indonesia terjungkal oleh krisis keuangan global pada medio 1997-1998. Nasibnya pun sama, tak cukup pendampingan apalagi penyiapan dan pengawasan.
Sebelum diprotes, arsip dan data biarlah kembali bicara.
Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Bali, misalnya, pada 2010 telah mempublikasikan fakta dan data krisis air di Bali, dengan merujuk data kementerian. Penyedotan air untuk hotel menjadi salah satu faktor yang mempercepat krisis air di Bali.
Baca juga: Berkhayal Kelana ke Ubud, Gara-gara Slank dan Lagu Tepi Campuhan...
Sepanjang kita bersama-sama belum mampu menghasilkan sumber-sumber penghasilan baru yang berkelanjutan, pariwisata niscaya tetap akan menjadi salah satu sumber pundi-pundi utama negara.
Berdasarkan paparan data Outlook Pariwisata 2020/2021 dari Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, harus diakui bahwa sektor pariwisata telah pula menjadi sandaran penghidupan bagi belasan juta orang di Indonesia.
Kontribusi pariwisata terhadap pendapatan domestik bruto (PDB) pun sempat menyentuh kisaran angka 4,8 persen, sebelum pandemi menyerbu.
Selama pandemi sekalipun, pariwisata melalui turis lokal disanjung kontribusinya pada perekonomian. Dari fakta itu, turis lokal pun diharapkan jadi penopang pemulihan industri pariwisata pada 2022.
Wajar bila komersialisasi langsung jadi kata yang mencuat di tengah polemik wacana kenaikan tarif naik Candi Borobudur ini.
Baca di Kontan: Sandiaga Uno: Di Tengah Pandemi, Wisatawan Domestik Beri Secercah Harapan
Seperti kata Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Sandiaga Uno, dalam tulisan di Kontan, industri pariwisata ke depan seharusnya tak semata berkualitas tetapi juga berkelanjutan. Artinya, situs dan destinasi yang dikunjungi tetap lestari sembari terus memasok cuan.
Dalam hal ini, suara hati seorang Joko Susilo, Kepala Dusun Cuntel di kaki Gunung Merbabu pun mendadak menyeruak.
"Satu hal, saya tidak ingin pariwisata menjauhkan kami dari pertanian, apalagi menyingkirkan pertanian sebagai sumber utama penghidupan kami. Pertanian harus tetap menjadi diri kami, (sementara) pariwisata memberi nilai tambah," tutur Joko saat berbincang dengan Kompas.com, Rabu (18/5/2022).
Berkaca dari Bali, Puncak, dan sejumlah destinasi wisata lain, agaknya Joko khawatir bila dusunnya semata jadi destinasi wisata dan mengalihkan sumber penghidupan warga dari pertanian yang terbukti menghidupi selama bergenerasi-generasi dan masih tak kehabisan potensi pengembangan.
Baca juga: Wisata Cuntel: Mau Glamping, Agrowisata, atau Sekadar Cuci Mata di Lereng Merbabu, Bisa!
Harapan Joko sejatinya tidaklah terlalu muluk bila seluruh kebijakan tersinkronisasi dengan tepat, berlandaskan ketajaman visi dan kematangan strategi. Pembenahan yang menyentuh akar-akar persoalan perekonomian dan tata kelola negara tentu jadi satu paket tak terpisahkan.
Terlebih lagi, pandemi lagi-lagi menjadi saksi, pertanian menjadi sektor yang tak tumbang ketika nyaris seluruh aktivitas ekonomi sempat terhenti oleh serbuan wabah. Nah, ini adalah sektor dengan segudang pekerjaan rumah untuk dituntaskan, bukan?
Cukuplah pariwisata menjadi nilai tambah dari potensi-potensi yang lebih sejati dari setiap destinasi. Candi Borobudur pun tak terkecuali.
Baca juga: Jelajahi 6 Surga Indonesia, Bali Salah Satunya
Sebagai situs yang merupakan pusat peribadatan umat Buddha, Candi Borobudur tak akan lalu sunyi begitu berlaku tarif tinggi bagi turis untuk menapaki setiap undakannya.
Justru, pengungkapan misteri candi yang belum sepenuhnya tuntas hingga kini harus mendapatkan momentum. Karena, sejarah yang terungkap dan terjaga pun sejatinya merupakan daya tarik dari sebuah destinasi, bersama tanggung jawab literasi dan edukasi.
Terlebih lagi, bahkan Borobudur pun tak semata punya Candi Borobudur. Ada terlalu banyak potensi dan destinasi untuk dijelajahi, bila perlu dikembangkan lebih baik lagi, sembari mengupayakannya tetap lestari.
Baca juga: Sejarah Candi Borobudur, Peninggalan Dinasti Syailendra
Tabik.
Naskah: KOMPAS.com/PALUPI ANNISA AULIANI
Catatan: Artikel harian Kompas yang dikutip dalam tulisan ini dapat diakses publik melalui layanan Kompas Data.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.