Ada tokoh yang minim prestasi, namun di-framing sedemikian rupa seakan berprestasi dan layak memimpin negeri.
Oligarki tidak memerlukan informasi yang benar-atau tidak, selama bisa membanjiri mindset publik untuk menerima narasi ciptakaan mereka.
Publik sebagai penerima informasi dari media menjadi sulit membedakan, mana info benar dan mana info bermuatan penggirigan opini.
Kondisi itu persis dengan apa yang pernah dikatakan Pakar komunikasi, Bill Kovach, yang menyebut kondisi saat ini sebagai era banjir informasi.
Ia mengatakan bahwa di era banjir informasi ini, sangat sulit untuk membedakan mana informasi yang benar dan salah. Bahwa semua bercampur baur tidak jelas, menjadi blur.
Ketiga, menggunakan jasa buzzer politik. Saat ini keberadaan media sosial perlahan mampu menggeser media mainstream sebagai sumber informasi.
Hal itu sangat positif. Mengingat partisipasi publik dalam mengekspresikan segala opininya terbuka lebar melalui kanal media sosial, seperti Twitter, Facebook, Instagram, Youtube, dll.
Namun adakalanya opini yang terekam di media sosial sudah tidak benar-benar murni, lantaran tercemar penggiringan opini dari kalangan buzzer politik yang sarat kepentingan.
Tidak bisa dibantah bahwa belakangan ini opini publik sehari-hari sering disetir oleh buzzer bersama akun-akun robot (bot).
Sehingga opini netizen yang ada di dunia maya seolah nyata, padahal bia jadi berasal dari penggiringan dari para buzzer.
Banyaknya pengguna media sosial di Indonesia. Ditambah makin eksisnya peran buzzer dalam perhelatan politik, maka keberadaan buzzer tentu bisa menjadi alat kalangan oligarki melakukan operasi mindset.
Termasuk soal siapa capres yang layak dan tidak layak dipilih. Para buzzer bayaran siap menjadi pasukan media sosial yang membela segala wacana atau isu yang berkaitan dengan kepentingan oligarki.
Dengan melihat berbagai realita kalangan oligarki yang sudah makin terlihat jelas jejaknya itu, maka sebagai bangsa, kita harus mulai menyadarinya.
Bahwa era reformasi yang hampir berjalan seperempat abad ini, masih menyisakan banyak pekerjaan rumah.
Salah satunya memastikan negeri ini tidak dicengkram oleh oligarki, serta kepemimpinan nasional kita di 2024 nantinya, bukan capres hasil operasi mindset dari oligarki.
Publik harus lebih cerdas, melihat latar belakang, kapasitas, dan prestasi para capres yang akan berlaga di pilpres 2024.
Jika yang tampil dan terpilih adalah sosok-sosok capres dengan hanya modal pencitraan dan dari hasil manipulasi oligarki-kapitalis melalui lembaga survei berbayar, framing media, buzzer bayaran, maka apa yang bisa diharapkan bagi masa depan bangsa ini?
Padahal calon pemimpin bangsa yang besar ini harus memenuhi unsur terpenting, seperti berkarakter, berkompeten, berkapasitas dan visioner.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.