Ketika waktu 20 bulan menjelang pemilu saja belum tercapai, para menteri sudah sibuk membangun kekuatan menuju Pilpres 2024.
Pertanyaannya, bagaimana hasil kinerja mereka nantinya jika tidak fokus bekerja sebagai pembantu Presiden?
Demi memelihara agenda dan kepentingan, para oligarki-kapitalis tentu saja akan berupaya terus mencengkram kekuasaan.
Salah satunya dengan menciptakan capres yang sesuai dengan kepentingan mereka di 2024. Capres yang menjadi ‘boneka’ untuk dikendalikan.
Agar jika berkuasa nanti, mau mendukung kepentingan oligarki dalam mengeruk sumber kekayaan di negeri ini.
Apalagi tidak sulit bagi mereka melakukan operasi mindset, di tengah kondisi masyarakat saat ini yang tengah pasif dan tak peduli terhadap berbagai perubahan yang terjadi di sekelilingnya.
Demi memuluskan jalan tokoh yang layak digadang sebagai capres di 2024, kaum oligarki-kapitalis bisa saja menggunakan beberapa instrument, seperti lembaga survei, media, dan buzzer, untuk memborbardir pikiran publik, seakan yang disampaikan sebuah kebenaran yang harus dipercaya.
Karena di dalam operasi mindset, yang diserang adalah pikirannya, bukan lagi berbentuk ancaman fisik.
Pertama, lembaga survei. Di negara-negara demokrasi, kehadiran lembaga survei bisa menjadi alat merekam opini publik yang efektif.
Namun sebagai sebuah instrumen ilmiah, survei terkadang tidak bebas kepentingan. Apalagi jika antara pollser dan konsultan politik sudah menyatu, seperti halnya yang terjadi di Indonesia.
Kerja operasi mindset melalui lembaga survei belakangan ini sudah terlihat, ketika berbagai lembaga survei 'berlomba' mengeluarkan temuan terkait kandidat capres di 2024.
Terhadap lembaga survei, kita seharusnya bisa menuntut data yang mampu dipertanggungjawabkan, dari sisi transparansi, dan dari mana dana pelaksanaan survei yang tidak murah itu.
Serta apa pula maksud dan tujuan dilakukan survei, ketika Pemilu 2024 masih relatif lama?
Hasil survei terkait Pilpres 2024 yang ramai dirilis belakangan ini, bisa dikatakan masih sangat prematur.
Maka jangan heran jika banyak orang menduga ada unsur politis di balik hasil-hasil survei tersebut, sebagai upaya penggiringan opini, agar terekam di mindset publik bahwa hanya tokoh-tokoh tertentu saja yang layak maju sebagai capres di 2024, berbekal popularitas dan elektabilitas yang bisa saja diciptakan.
Kedua, framing media. Di negara demokrasi, kehadiran media dianggap sebagai pilar yang keempat, setelah eksekutif, legislatif, dan yudikatf.
Mereka diharapkan menjadi anjing penjaga (watch dog), yang mengawasi jalan kekuasaan agar tidak menyimpang.
Sayangnya, di era industri informasi ini adakalanya media terjebak sebagai entitas bisnis semata.
Apalagi jika kepemilikan media sudah berkelindan dengan para oligarki-kapitalis yang mengendalikan kekuasaan.
Dengan penguasaan terhadap media, membuat para oligarki dengan leluasa membentuk framing mengenai siapa saja yang layak dan tidak layak menjadi pemimpin negeri ini.