JAKARTA, KOMPAS.com - Survei Litbang Kompas menunjukkan, salah satu upaya yang tergolong mudah dilakukan untuk mengurangi polarisasi atau keterbelahan politik yang terjadi sejak Pilpres 2019 adalah berhenti menggunakan istilah cebong dan kampret/kadrun.
Sebanyak 84,6 persen responden yang terlibat di dalam survei menyatakan hal tersebut.
Peneliti Litbang Kompas Gianie mengatakan, istilah tersebut perlu berhenti digunakan, baik untuk percakapan di dunia nyata maupun di dunia maya.
"Saling percaya dan saling menghormati antarsesama akan tumbuh bila siapa pun tidak menghakimi orang lain dengan kedua label tersebut," tulis dia, seperti dikutip Harian Kompas, Senin (6/6/2022).
Baca juga: Litbang Kompas: 79 Persen Responden Menilai Keterbelahan sejak Pilpres 2019 Merusak Demokrasi
Sebagai informasi, berdasarkan hasil survei yang sama terungkap, publik secara umum menilai hubungan antara dua kubu yang berseberangan politik sejak Pilpres 2019 belum membaik hingga saat ini.
Hal tersebut tergambar dari banyaknya responden yang menilai hubungan kedua kubu yang berseberangan pada pilpres yang lalu tersebut justru memburuk, bukannya kian baik.
Sebanyak 40,3 persen responden dalam jajak pendapat Kompas yang dilakukan pada akhir Mei 2022 menyebutkan, hubungan antara kedua kubu semakin buruk. Meski di sisi lain, sebanyak 45 persen responden menilai hubungan antara kedua kubu sudah semakin baik.
"Secara umum, publik menilai saat ini hubungan antara dua kubu yang berseberangan politik sejak Pilpres 2019 belum membaik," tulis Gianie.
Baca juga: Buzzer hingga Hoaks Jadi Penyebab Kian Runcingnya Polarisasi Politik Sejak Pilpres 2019
Sebagian besar responden menilai hal utama yang membuat polarisasi atau keterbelahan antarkubu yang berbeda pilihan politik sejak Pilpres 2019 kian meruncing adalah orang-orang yang secara sadar memperkeruh situasi.
Hal tersebut disampaikan oleh 36,3 persen responden.
Pada hasil survei Litbang Kompas tersebut ditunjukkan, orang-orang yang memperkeruh situasi secara sadar termasuk di dalamnya influencer, buzzer, atau provokator.
"Mereka ada di kedua kubu yang aktif memproduksi konten-konten di media sosial yang memancing respons negatif. Saling klaim prestasi tokoh yang mereka bela sama mudahnya dengan menafikan atau tidak menghargai kerja tokoh dari kubu lawan," jelas Gianie.
Baca juga: Litbang Kompas: Hubungan Kubu yang Berseberangan Politik sejak Pilpres 2019 Belum Membaik
Adapun pengumpulan pendapat oleh Litbang Kompas dilakukan melalui telepon pada 24-29 Mei 2022.
Sebanyak 1.004 responden berusia minimal 17 tahun dari 34 provinsi diwawancarai.
Sampel ditentukan secara acak dari responden panel Litbang Kompas sesuai proporsi jumlah penduduk di tiap provinsi.
Adapun dengan metode ini, tingkat kepercayaan sebesar 95 persen, nirpencuplikan penelitian ± 3,09 persen dalam kondisi penarikan sampel acak sederhana.
Meskipun demikian, kesalahan di luar pencuplikan sampel dimungkinkan terjadi.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.