PADA agenda sidang Paripurna 24 Mei 2022 lalu, DPR dan Pemerintah mencapai kesepakatan pada PembicaraanTingkat II atas revisi kedua Undang-Undang No 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (PPP).
Revisi UU PPP dilakukan sebagai respons atas putusan MK No.91/PUU-XVIII/2020 yang menyatakan bahwa Undang-Undang No 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja bersifat inkonstitusionalitas bersyarat.
Menurut MK, UU Cipta Kerja tidak sesuai dengan metode dan sistematika pembentukan UU serta bertentangan dengan asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan sebagaimana yang diatur dalam UU PPP.
Oleh sebab itu, UU Cipta Kerja dinyatakan cacat formil dan perlu diperbaiki dalam jangka waktu paling lama dua tahun.
Pembentukan UU Cipta Kerja dengan metode Omnibus sebelumnya memang tidak dikenal dalam UU PPP.
Metode pembentukan UU secara Omnibus memang lazim diterapkan pada negara-negara yang menganut sistem hukum Common Law (Anglo Saxon).
Untuk itu, revisi kedua terhadap UU PPP dilakukan guna memberi legitimasi terhadap penerapan metode Omnibus dalam pembentukan UU di Indonesia.
Selain mengatur hal-hal terkait penerapan metode Omnibus dalam pembentukan UU di Indonesia, revisi UU PPP juga mengatur beberapa hal lainnya terkait proses pembentukan UU yang mencakup pembentukan UU berbasis elektronik, optimalisasi pelaksanaan harmonisasi dan pemantapan konsepsi peraturan perundang-undangan, perbaikan redaksional terhadap UU, optimalisasi peran Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dan pemerintah dalam pemantauan dan peninjauan peraturan perundang-undangan, serta yang terpenting penguatan partisipasi publik.
Sebagai konsekuensi atas revisi UU PPP tersebut, pembentukan UU di Indonesia tentu sedikit banyak akan dilakukan dengan metode Omnibus.
Namun, akankan omnibus law mampu mengatasi permasalahan regulasi di Indonesia?
Penerapan metode Omnibus dalam pembentukan UU di Indonesia sebenarnya telah dipraktikan lebih dulu dalam UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Pemda) yang mengubah dan mencabut beberapa ketentuan dalam UU No.17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3).
Namun, UU Pemda saat ini tidak berstatus sebagai UU payung yang terbagi atas beberapa kluster.
Berbeda dengan UU Cipta Kerja yang mengubah 80 UU dan terbagi atas 11 kluster. UU tersebut kemudian diturunkan dalam beberapa peraturan, yakni 49 Peraturan Pemerintah (PP) dan 4 Peraturan Presiden (Perpres).
Teknik penyusunan UU dengan metode Omnibus diharapkan dapat menjadi solusi atas permasalahan tumpang tindih dan obesitas regulasi di Indonesia.
Selain itu, metode ini juga diharapkan dapat mempersingkat proses legislasi dan mempermudah proses harmonisasi regulasi.
Periksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.