JAKARTA, KOMPAS.com - Pemilihan umum (pemilu) serta pemilihan presiden-wakil presiden langsung pada 2004 sangat berkaitan erat dengan awal mula pelaksanaan hitung cepat (quick count) di Indonesia.
Saat itu rakyat Indonesia untuk pertama kali mengenal sistem pemilihan presiden-wakil presiden secara langsung. Masyarakat berharap bisa memantau hasil penyelenggaraan pesta demokrasi itu secara langsung.
Di sisi lain, proses penghitungan suara dalam penyelenggaraan pemilu di Indonesia tidak mudah. Penyebabnya adalah luas wilayah daratan yang terpisah lautan dan jumlah penduduk yang besar membuat proses penghitungan berjalan lambat.
Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai penyelenggara pemungutan suara juga mesti cermat dan teliti dalam menghitung dan mencocokkan data di tempat pemungutan suara satu persatu, supaya sesuai saat dilakukan rekapitulasi tingkat nasional. Karena hal itu proses penghitungan suara bisa dilakukan berbulan-bulan.
Di tengah proses penghitungan suara yang lama juga muncul kekhawatiran akan manipulasi. Saat itu, KPU menyatakan masyarakat bisa mengetahui hasil perolehan suara pemilu dan pilpres 2004 melalui jaringan teknologi informasi melalui internet.
Baca juga: KPU: Presiden Akan Hadiri Peluncuran Tahapan Pemilu pada 14 Juni 2022
Quick count merupakan metode statistik untuk mengetahui hasil pemilihan suara dengan mengambil sampel di sejumlah tempat pemungutan suara. Sampel yang diambil juga tak sembarang, melainkan secara acak dan representatif mewakili karakteristik populasi di Indonesia.
Hitung cepat dilakukan dengan metodologi khusus sehingga dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Tentu saja dalam quick count terdapat margin of error, meskipun persentasenya sangat sedikit.
Akan tetapi, quick count bukan merupakan penghitungan resmi yang dilakukan KPU. Namun, hitung cepat merupakan langkah untuk membandingkan hasil perolehan suara guna menghindari dan menekan potensi manipulasi atau penggelembungan suara.
Maka dari itu masyarakat diminta tetap memantau hasil penghitungan akhir dari KPU.
Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) bisa disebut sebagai perintis quick count dalam Pemilu dan Pilpres di Indonesia. Mereka dilaporkan sudah berencana mempraktikkan metode itu sejak masa pemerintahan Orde Baru di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto. Akan tetapi, hal itu baru terlaksana pada Pemilu 2004.
Menurut pemberitaan Harian Kompas pada 6 Juli 2004, LP3ES sebenarnya telah menguji metode hitung cepat sebelum Pemilu 2004, yakni saat Pemilu 1997 khusus di wilayah DKI Jakarta. Saat itu LP3ES berhasil memprediksi secara cepat dan tepat perolehan suara PPP, Golkar, dan PDI.
Kemudian pada Pemilu 1999, LP3ES kembali menguji prediksi penghitungan suara khusus di Nusa Tenggara Barat (NTB).
Karena penerapan hitung cepat di 2 daerah itu dinilai berhasil, LP3ES menguji metode itu pada Pemilu dan Pilpres 2004. Saat itu mereka bekerja sama dengan The National Democratic Institute for International Affairs (NDI) atau organisasi internasional pemantau pemilihan umum yang berpusat di Washington, Amerika Serikat.
Baca juga: Ancang-ancang KPU Hadapi Tahapan Pemilu 2024 yang Kian Dekat
NDI telah menggunakan konsep hitung cepat pada pemilu di 10 negara berbeda. Hasilnya pun memuaskan.
Menurut pemberitaan surat kabar Kompas pada 7 April 2004, cara hitung cepat yang dilakukan saat itu adalah dengan melakukan proyeksi dan analisis pengamatan langsung terhadap penghitungan suara di 1.416 tempat pemungutan suara (TPS), dengan jumlah suara 289.052 pemilih, yang menjadi sampel dari keseluruhan 2.000 TPS sampel yang tersebar di 32 provinsi.