Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Reza Indragiri Amriel
Alumnus Psikologi Universitas Gadjah Mada

AKBP Brotoseno dan Ancaman Tak Berkesudahan

Kompas.com - 01/06/2022, 08:58 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

KETUA Kompolnas, Benny Mamoto, dalam wawancaranya di radio mengatakan bahwa dengan menempatkan AKBP Raden Brotoseno di unit kerja yang tepat, publik dan institusi akan bisa memantau performa mantan penyidik KPK tersebut.

Jika AKBP Brotoseno mengulangi perbuatannya, maka hukuman berat menanti dirinya, yaitu pemberhentian tidak dengan hormat.

Sikap Polri yang ternyata memilih mempertahankan AKBP Brotoseno, dan secara implisit juga diamini oleh Kompolnas, jelas merupakan pertaruhan yang sangat berani -- untuk tidak dikatakan sangat berbahaya.

Alasannya, pertama, terkait dengan residivisme. Dalam konteks ini, penakaran risiko (risk assessment) merupakan hal yang relevan untuk ditinjau.

Pertanyaan pokok yang hendak dijawab oleh penakaran risiko adalah apakah seorang pelaku pidana akan mengulangi perbuatannya.

Penakaran risiko seyogianya dilakukan secara individual, narapidana per narapidana. Dari situ akan diperoleh gambaran tingkat residivisme yang ada pada masing-masing pesakitan.

Narapidana dengan risiko residivisme tinggi dipahami sebagai orang yang berkecenderungan kuat untuk melakukan tindak pidana kembali.

Sebaliknya, publik boleh tenang ketika seorang narapidana tertakar berisiko rendah, karena diprediksi kecil kemungkinan pesakitan tersebut akan bermasalah dengan hukum untuk kesekian kalinya.

Seberapa jauh penakaran risiko sudah dikenakan terhadap para terpidana korupsi, Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) yang memiliki jawabannya.

Akal sehat mengatakan, karena korupsi acap kali disinonimkan dengan kejahatan serius, kejahatan luar biasa, dan sebutan-sebutan angker lainnya, maka sangat penting Kemenkumham menyelenggarakan penakaran risiko terhadap para penggangsir uang negara.

Pengabaian terhadap penakaran risiko sama artinya dengan menyepelekan hak dan kebutuhan masyarakat untuk hidup lebih aman, termasuk dari ancaman para koruptor yang bisa sewaktu-waktu melakukan rasuah kembali.

Sembari menunggu penjelasan Kemenkumham tentang ada tidaknya penakaran risiko bagi para terpidana korupsi, hasil riset sudah cukup menghadirkan kegelisahan.

Fredericks, McComas, dan Weatherby membandingkan antara kejahatan korupsi dan kejahatan yang disertai kekerasan.

Temuan mereka, pelaku kejahatan disertai kekerasan menerima hukuman lebih berat daripada pelaku kejahatan kerah putih.

Namun terkait residivisme, pelaku kejahatan kerah putih justru lebih tinggi daripada pelaku kejahatan disertai kekerasan.

Salah satu rationale yang mempertemukan dua temuan tersebut adalah anggapan bahwa kejahatan kerah putih tidak lebih berbahaya, tidak semengerikan kejahatan disertai kekerasan.

Dengan anggapan semacam itu, masuk akal bahwa hukuman yang ditimpakan kepada kriminal kerah putih memang "sepatutnya" lebih ringan.

Berikutnya, karena perbuatan koruptif mereka diklasifikasi sebagai kejahatan yang tidak lebih berat ketimbang kejahatan disertai kekerasan, maka tidak ada beban bagi penjahat kerah putih untuk melakukan kembali aksi kriminalitas mereka.

Anggapan sedemikian rupa dapat diterapkan pada kasus AKBP Brotoseno. Tidak jadinya yang bersangkutan dikeluarkan dari institusi Polri, bahkan justru ia ditempatkan di posisi penyidik, dapat ditafsirkan sebagai pertanda tingginya kompromi lembaga penegakan hukum tersebut terhadap tindak korupsi.

Suka tak suka, kegemparan tentang AKBP Brotoseno ini tak pelak menjadi tolok ukur masyarakat untuk memotret standar etika, moralitas, dan ketaatan hukum institusi Polri.

Dan dengan standar yang dinilai rendah tersebut, tidak tertutup kemungkinan itu akan dijadikan sebagai acuan oleh khalayak luas saat ingin menetapkan standar etika, moralitas, dan ketaatan hukum mereka sendiri.

Alasan kedua mengapa masalah AKBP Brotoseno terasa begitu merisaukan, terletak pada The Curtain Code atau The Code of Silence.

Dua istilah tersebut menunjuk pada subkultur menyimpang yang ditandai oleh kecenderungan personel untuk menutup-nutupi perbuatan salah yang dilakukan oleh sesama sejawat.

Dalam sebuah survei klasik yang melibatkan ribuan personel polisi sebagai respondennya, tercatat 79 persen personel mengakui bahwa Code of Silence memang ada dan menyebar luas di internal kepolisian.

Kesan yang muncul semakin buruk karena 52 persen personel merasa tidak terganggu oleh subkultur menyimpang tersebut.

Kenyataan seperti itu belum tentu juga eksis di lingkungan Polri. Tapi sementara publik menantikan adanya kajian serupa dilakukan di korps Tribrata, hasil riset Neal Trautman, Direktur The National Institute of Ethics, menyediakan dasar untuk memperkirakan bahwa The Curtain Code juga marak di berbagai institusi kepolisian, termasuk--mungkin--Polri.

Apabila asumsi tersebut benar adanya, maka bisa dibayangkan betapa pun pengulangan aksi kejahatan kerah putih di lingkungan kepolisian sangat mungkin terjadi, namun aksi tersebut niscaya dipendam rapat-rapat sehingga tidak akan pernah menjadi kasus hukum.

Dengan kata lain, reoffending (pengulangan aksi pidana secara faktual) tampaknya tinggi, tapi residivisme (pengulangan perbuatan jahat yang tercatat) pastinya rendah.

Pada akhirnya, dua pertanyaan memilukan hati perlu diberikan garis bawah. Pertama, inikah bukti bahwa otoritas penegakan hukum tidak akan pernah mampu menomorsekiankan kesetiakawanan dan menomorwahidkan kesetiaan pada standar kemuliaan tertinggi?

Kedua, inikah manifestasi betapa beratnya ujian yang Polri hadapi saat harus memolisikan dirinya sendiri?

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Jelang Putusan Sengketa Pilpres: MK Bantah Bocoran Putusan, Dapat Karangan Bunga

Jelang Putusan Sengketa Pilpres: MK Bantah Bocoran Putusan, Dapat Karangan Bunga

Nasional
Skenario Putusan Mahkamah Konstitusi dalam Sengketa Pilpres 2024

Skenario Putusan Mahkamah Konstitusi dalam Sengketa Pilpres 2024

Nasional
Kejagung Terus Telusuri Aset Mewah Harvey Moeis, Jet Pribadi Kini dalam Bidikan

Kejagung Terus Telusuri Aset Mewah Harvey Moeis, Jet Pribadi Kini dalam Bidikan

Nasional
Yusril Tegaskan Pencalonan Gibran Sah dan Optimistis dengan Putusan MK

Yusril Tegaskan Pencalonan Gibran Sah dan Optimistis dengan Putusan MK

Nasional
Soal Tawaran Masuk Parpol, Sudirman Said: Belum Ada karena Saya Bukan Anak Presiden

Soal Tawaran Masuk Parpol, Sudirman Said: Belum Ada karena Saya Bukan Anak Presiden

Nasional
Sudirman Said Beberkan Alasan Tokoh Pengusung Anies Tak Ajukan 'Amicus Curiae' seperti Megawati

Sudirman Said Beberkan Alasan Tokoh Pengusung Anies Tak Ajukan "Amicus Curiae" seperti Megawati

Nasional
Soal Peluang Anies Maju Pilkada DKI, Sudirman Said: Prabowo Kalah 'Nyapres' Tidak Jadi Gubernur Jabar

Soal Peluang Anies Maju Pilkada DKI, Sudirman Said: Prabowo Kalah "Nyapres" Tidak Jadi Gubernur Jabar

Nasional
Beda Sikap PSI: Dulu Tolak Proporsional Tertutup, Kini Harap Berlaku di Pemilu 2029

Beda Sikap PSI: Dulu Tolak Proporsional Tertutup, Kini Harap Berlaku di Pemilu 2029

Nasional
Banjir “Amicus Curiae”, Akankah Lahir “Pahlawan” Pengadilan?

Banjir “Amicus Curiae”, Akankah Lahir “Pahlawan” Pengadilan?

Nasional
Tanggal 22 April 2024 Memperingati Hari Apa?

Tanggal 22 April 2024 Memperingati Hari Apa?

Nasional
TNI Tembak 2 Anggota OPM yang Serang Pos Prajurit di Paro Nduga, tapi Berhasil Melarikan Diri

TNI Tembak 2 Anggota OPM yang Serang Pos Prajurit di Paro Nduga, tapi Berhasil Melarikan Diri

Nasional
Sebut Jaksa TI Tak Punya Mercy, KPK: Foto di Rumah Tetangga

Sebut Jaksa TI Tak Punya Mercy, KPK: Foto di Rumah Tetangga

Nasional
Kasus Korupsi Timah, Kejagung Dalami Kepemilikan Jet Pribadi Harvey Moeis

Kasus Korupsi Timah, Kejagung Dalami Kepemilikan Jet Pribadi Harvey Moeis

Nasional
Prabowo Minta Pendukung Tak Gelar Aksi saat MK Bacakan Putusan Sengketa Pilpres 2024

Prabowo Minta Pendukung Tak Gelar Aksi saat MK Bacakan Putusan Sengketa Pilpres 2024

Nasional
Demokrat Sampaikan Kriteria Kadernya yang Bakal Masuk Kabinet Mendatang

Demokrat Sampaikan Kriteria Kadernya yang Bakal Masuk Kabinet Mendatang

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com