Salah satu rationale yang mempertemukan dua temuan tersebut adalah anggapan bahwa kejahatan kerah putih tidak lebih berbahaya, tidak semengerikan kejahatan disertai kekerasan.
Dengan anggapan semacam itu, masuk akal bahwa hukuman yang ditimpakan kepada kriminal kerah putih memang "sepatutnya" lebih ringan.
Berikutnya, karena perbuatan koruptif mereka diklasifikasi sebagai kejahatan yang tidak lebih berat ketimbang kejahatan disertai kekerasan, maka tidak ada beban bagi penjahat kerah putih untuk melakukan kembali aksi kriminalitas mereka.
Anggapan sedemikian rupa dapat diterapkan pada kasus AKBP Brotoseno. Tidak jadinya yang bersangkutan dikeluarkan dari institusi Polri, bahkan justru ia ditempatkan di posisi penyidik, dapat ditafsirkan sebagai pertanda tingginya kompromi lembaga penegakan hukum tersebut terhadap tindak korupsi.
Suka tak suka, kegemparan tentang AKBP Brotoseno ini tak pelak menjadi tolok ukur masyarakat untuk memotret standar etika, moralitas, dan ketaatan hukum institusi Polri.
Dan dengan standar yang dinilai rendah tersebut, tidak tertutup kemungkinan itu akan dijadikan sebagai acuan oleh khalayak luas saat ingin menetapkan standar etika, moralitas, dan ketaatan hukum mereka sendiri.
Alasan kedua mengapa masalah AKBP Brotoseno terasa begitu merisaukan, terletak pada The Curtain Code atau The Code of Silence.
Dua istilah tersebut menunjuk pada subkultur menyimpang yang ditandai oleh kecenderungan personel untuk menutup-nutupi perbuatan salah yang dilakukan oleh sesama sejawat.
Dalam sebuah survei klasik yang melibatkan ribuan personel polisi sebagai respondennya, tercatat 79 persen personel mengakui bahwa Code of Silence memang ada dan menyebar luas di internal kepolisian.
Kesan yang muncul semakin buruk karena 52 persen personel merasa tidak terganggu oleh subkultur menyimpang tersebut.
Kenyataan seperti itu belum tentu juga eksis di lingkungan Polri. Tapi sementara publik menantikan adanya kajian serupa dilakukan di korps Tribrata, hasil riset Neal Trautman, Direktur The National Institute of Ethics, menyediakan dasar untuk memperkirakan bahwa The Curtain Code juga marak di berbagai institusi kepolisian, termasuk--mungkin--Polri.
Apabila asumsi tersebut benar adanya, maka bisa dibayangkan betapa pun pengulangan aksi kejahatan kerah putih di lingkungan kepolisian sangat mungkin terjadi, namun aksi tersebut niscaya dipendam rapat-rapat sehingga tidak akan pernah menjadi kasus hukum.
Dengan kata lain, reoffending (pengulangan aksi pidana secara faktual) tampaknya tinggi, tapi residivisme (pengulangan perbuatan jahat yang tercatat) pastinya rendah.
Pada akhirnya, dua pertanyaan memilukan hati perlu diberikan garis bawah. Pertama, inikah bukti bahwa otoritas penegakan hukum tidak akan pernah mampu menomorsekiankan kesetiakawanan dan menomorwahidkan kesetiaan pada standar kemuliaan tertinggi?
Kedua, inikah manifestasi betapa beratnya ujian yang Polri hadapi saat harus memolisikan dirinya sendiri?
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.