DUA bus beradu kecepatan, kemudian satu bus terguling. Belasan orang menderita luka-luka. Itu terjadi pada Selasa (31/5/2022), di Desa Jerukgulung, Kecamatan Balerejo, Kabupaten Madiun.
Kedua bus itu menuju ke Surabaya dengan membawa sejumlah penumpang, bukan barang atau tanpa muatan. Nyawa manusia seperti tidak dianggap dalam peristiwa itu. Tragis dan menyedihkan.
Kejadian seperti itu tidak jarang dan sepertinya menjadi “hiburan” bagi oknum awak bus.
Saya beberapa kali menonton video truk melaju secara zig zag di tengah jalan raya. Sangat membahayakan orang lain, yang naik kendaraan maupun yang berada di pinggir jalan.
Timbul pertanyaan, mengapa beberapa orang senang melakukan perbuatan ugal-ugalan seperti itu?
Apakah petugas tidak cukup banyak untuk mengawasi lalu lintas? Apakah hukuman bagi pelanggar lalu lintas tidak membuat jera pelakunya?
Apakah peraturan lalu lintas yang ada tidak cukup lengkap sehingga orang secara tidak disadari melakukan tindakan yang membahayakan orang lain? Apakah peraturan yang ada tidak dimengerti oleh pengendara?
Berbagai pertanyaan spontan seperti itu sering muncul tanpa ada jawaban yang memuaskan.
Namun di samping hal-hal legal dan prosedural seperti itu, satu hal yang mungkin benar adalah bahwa masyarakat kita belum memiliki budaya tertib berlalu lintas yang cukup tinggi.
Berikut ini adalah budaya tertib berlalulintas dari negara lain yang dapat dijadikan contoh.
Mematuhi lampu merah sekalipun jalanan sepi
Salah satu penyebab kemacetan adalah karena banyaknya titik-titik lampu lalu lintas di berbagai persimpangan jalan.
Sekalipun hanya berupa persimpangan jalan sempit di perumahan, pemerintah kota/daerah menaruh lampu lalu lintas di sana.
Hal itu cukup ampuh dalam meminimalkan kecelakaan lalu lintas antara pejalan kaki dan pengendara.
Meskipun keadaan di sekitar lampu lalu lintas sedang sepi, baik pengendara maupun pejalan kaki pasti akan mematuhinya.