Biaya politik yang tinggi memaksa aktor-aktor politik menggunakan segala sumber daya yang dimiliki atau melakukan penyimpangan dalam upaya mengakumulasi kekayaan untuk modal kontestasi bahkan berafiliasi dengan pemilik modal untuk mendanai kegiatan politik.
Menurut Badan Litbang Kemendagri, biaya politik menjadi wali kota/bupati mencapai Rp 20 miliar - Rp 30 miliar. Untuk level Gubernur berkisar Rp 20 miliar - Rp100 miliar.
Kemudian, seorang calon anggota DPR RI membutuhkan Rp 1 miliar - Rp 2 miliar, calon anggota DPRD Provinsi sekitar Rp 500 juta - Rp 1 miliar, dan calon anggota DPRD Kab/Kota sekitar Rp 250juta - Rp300 juta.
Biaya yang dikeluarkan calon tidak murni dari kantong pribadinya melainkan sokongan dari sponsor.
Sudah menjadi rahasia umum bahwa ada donor di belakang semua parpol atau kandidat. Ada yang terdeteksi dan ada yang tidak sama sekali.
Kerawanan adanya kesepakatan yang menyimpang maupun tindak pidana dari hubungan pendonor dan kandidat/parpol sangat tinggi.
Dampaknya masih akan terasa pascakandidat terpilih karena ada politik balas budi. Contoh praktiknya pelepasan izin, pengelolaan proyek pengadaan pemerintah atau sumber daya alam dikooptasi kepada orang/korporasi pemodal.
Akibatnya, acapkali perizinan tidak sesuai peruntukan atau melanggar hukum, pengadaan pemerintah atau tata kelola sumber daya alam menjadi tidak sehat dan tidak maksimal berdampak pada pemasukan negara dan kesejahteraan masyarakat.
Pola ini menjadi lingkaran setan yang melahirkan mafia dalam berbagai sektor. Garis tanggungjawab pejabat kepada rakyat makin absurd karena keberpihakan utama pejabat bukan kepada rakyat.
Situasi seperti ini perlu kiranya penanganan serius. Harapan atas RUU yang dapat digunakan sebagai instrumen pencegahan dan pemberantasan kejahatan sepatutnya disambut baik legislatif demi kepentingan nusa dan bangsa.
Pembatasan transaksi uang kartal (tunai) bukan berarti membatasi sepenuhinya semua transaksi karena hanya pada jumlah transaksi tertentu. Sisa transaksinya dapat dilakukan melalui transfer perbankan.
Urgensi pengesahan RUU PTUK perlu dilihat dalam kepentingan yang lebih luas. Urgensi UU PTUK karena banyak manfaatnya.
Dari aspek politik, UU PTUK kelak memungkinkan kontrol yang jelas dan terukur terhadap peredaran uang dalam ranah politik.
Pendanaan partai atau kandidat lebih transparan dan akuntabel. Tujuannya, transaksi dalam politik lebih bersih.
Aktor-aktor politik lebih berorientasi pada inovasi dan kreativitas untuk mendulang suara, daripada menggunakan uang untuk membeli suara.