Lebih miris lagi, jutaan hektar perkebunan sawit milik konglomerat merupakan tanah negara yang dikuasai melalui konsesi Hak Guna Usaha (HGU) di masa lalu.
Baca juga: Apa yang Dicari, Jenderal Andika?
Ketersediaan minyak goreng kemasan reda setelah pemerintah mengibarkan bendera putih dengan mencabut HET sehingga harga di pasaran melonjak tajam menjadi rerata Rp 25.000 per liter.
Beda sekitar Rp 10.000 per liter dari HET sebelumnya. Kita pun geleng-geleng kepala melihat fenomena ajaib ini.
Pemerintah sebagai pemilik tanah dan otoritas perdagangan, kalah oleh manuver konglomerat minyak goreng yang jumlahnya tidak sampai 10 orang!
Keanehan belum berhenti. Pascamelepas HET minyak goreng kemasan, pemerintah mematok HET minyak goreng curah Rp 14.000.
Kebijakan ini juga dibarengi kucuran subsidi Rp 7, 28 triliun. Alhasil, uang tercurah, minyak goreng langka. Jika pun ada, harganya jauh di atas HET.
Presiden Jokowi akhirnya membuat kebijakan radikal dengan melarang total ekspor CPO dan produk turunannya. Kebijakan ini hanya berumur kurang dari sebulan.
Dengan alasan ketersediaan pasokan di pasar sudah melimpah, harganya juga sudah mulai turun, dan memikirkan 7 juta tenaga kerja yang berada di lingkaran industri minyak goreng, termasuk petani sawit, larangan ekspor CPO dan minyak goreng dicabut.
Sayangnya, harga minyak goreng curah di pasaran hari ini masih jauh di atas HET Rp 14.000 per liter. Benar sudah ada penurunan, namun harganya masih di kisaran Rp 17.000 per liter.
Dari sinilah Presiden Jokowi kemudian memerintahkan Luhut Pandjaitan turun gunung.
Gebrakan pertama yang dilakukan Luhut sungguh mencengangkan ketika menyebut ada konglomerat yang menguasai ratusan ribu hektar tanah negara untuk kebun kelapa sawit, berkantor di luar negeri.
Baca juga: Deja Vu Dwifungsi ABRI dan Droping Pejabat dari Jakarta
Meski masyarakat sudah lama mengetahui namun tidak memiliki cukup keberanian untuk bersuara karena takut mendapat label rasis, pernyataan Luhut tetap memberikan angin segar di tengah bisik-bisik oposisi dan mahasiswa tentang ketidakberdayaan tim ekonomi Jokowi mengatasi persoalan minyak goreng.
Bahkan dalam setiap demo mahasiswa, kalimat “mengatasi harga minyak goreng saja tidak mampu kok minta 3 periode” seolah menjadi “makian” wajib yag diseru dari atas mobil komando.
Jika Luhut berhasil memaksa para konglomerat minyak goreng memindahkan headquarters-nya ke Indonesia, ini tentu prestasi besar. Bukan hanya soal pajak dan tenaga kerja, namun juga marwah pemerintah.
Dengan berkantor utama di Indonesia, maka akan lebih mudah untuk mengendalikan karena mereka harus mengikuti regulasi di dalam negeri.