Idealnya Pj kepala daerah diangkat dari pejabat sipil di daerah tersebut yang telah memenuhi syarat. Hal ini sesuai dengan semangat otonomi daerah.
Namun fakta berkata lain. Dengan berbagai dalih dan tafsir undang-undang, pengisian beberapa Pj kepala daerah mencederai dua semangat reformasi sekaligus.
Pertama, “diperbolehkannya” anggota TNI dan Polri mengisi jabatan Pj kepala daerah. Persoalan ini mengemuka setelah Komjen Pol Paulus Waterpauw diangkat menjadi Pj Gubernur Papua Barat dan Brigjen TNI Andi Chandra As’aduddin menjadi Pj Bupati Seram Bagian Barat, Maluku.
Bukan hanya di masa sekarang, jauh sebelumnya, tepatnya tahun 2018, persoalan ini juga menjadi polemik ketika Irjen M Iriawan diangkat menjadi Pj Gubernur Jawa Barat.
Baca juga: Saat Gus Yahya Melawan Arus
Sementara penunjukan Irjen Martuani Sormin menjadi Pj Gubernur Sumatera Utara dibatalkan karena yang bersangkutan masih berdinas di struktural Mabes Polri, yakni sebagai Kadiv Propam.
Iriawan tetap dilantik dengan alasan sudah tidak berdinas di lingkungan lingkungan Mabes. Jabatan terakhirnya adalah sebagai Sestama Lemhanas.
Hal ini juga yang kemudian dijadikan patokan Mendagri Tito Karnavian dan Menko Polhukam Mahfud Md terkait pengangkatan Paulus Waterpauw dan Andi Candra.
Diketahui, jabatan terakhir Waterpauw sebelum ke Papua Barat adalah Deputi Bidang Pengelolaan Potensi Kawasan Perbatasan BNPP sejak 21 Oktober 2021.
Sedang Candra sebelumnya menjabat Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) Sulawesi Tenggara.
Menurut Mahfud, putusan MK memperbolehkan anggota TNI/Polri aktif yang tidak sedang menjabat pada jabatan fungsional di institusi induk untuk menduduki jabatan sipil.
BNPP dan BIN, juga BNPT, Kemenko Polhukam, Lemhanas, Kemenkumham, dan Sekretariat Militer, menurut Mahfud, termasuk lembaga di luar struktur TNI/Polri.
Isu paling mendasar dari masalah ini adalah apakah anggota TNI/Polri termasuk dalam kategori pimpinan tingkat madya/pratama sebagaimana dimaksud oleh UU Nomor 10 Tahun 2016?
Jika asumsinya “setara” hal itu tidak serta merta dapat dipakai untuk melegitimasi karena tetap menyalahi aturan yang ada.
Dalih bahwa Lemhanas, BNPT dan lain-lain yang disebutkan Mahfud bukan lembaga fungsional TNI/Polri dapat dibenarkan sepanjang tidak dimaknai sebagai lembaga sipil.
Sebab faktanya ada beberapa posisi di lembaga-lembaga tersebut yang “wajib” diisi oleh anggota TNI/Polri. Bukankah dalam sejarahnya kepala BNPT belum pernah dijabat sipil?