Tidak mungkin tidak harus menyediakan kendaraan dinas yang setaraf dengan menteri bagi posisi wakil menteri.
Penyediaan rumah dinas, penyediaan anggaran kementerian untuk kunjungan kerja dan dinas bagi wakil menteri adalah hal yang paling mudah ditilik dari pemborosan penyediaan jabatan wakil menteri.
Galib diketahui publik, kerap terjadi ketidakharmonisan relasi antara menteri dan wakilnya lebih dikarenakan perbedaan fasilitas dan perbedaan kewenangan yang dimilikinya.
Ke depan, di tengah fenomena efisiensi dan efektifitas kabinet di negara-negara modern, posisi wakil menteri sebaiknya dihapuskan saja. Bahkan yang jamak terjadi adalah penggabungan beberapa kementerian menjadi satu.
Jangan hanya gara-gara membalas budi politik dan khawatir terjadinya rongrongan politik di parlemen, semua partai - entah partai semenjana atau “parnoko”- harus dirangkul dalam koalisi gemuk bin bahenol.
Daya pikat politik Jokowi adalah keberhasilan kepemimpinan selama dua periode dan memiliki jejak pembangunan infrastruktur yang masif dan merata di seluruh persada nusantara.
Tidak ada yang membantah hal tersebut walau masih ada catatan minor di sana-sini.
Di saat negara-negara lain “galau” menghadapi serbuan wabah Corona, Jokowi dengan tegar memimpin negeri ini yang berpenduduk 278.752.361 (Worldmeter, Perserikatan Bangsa-Bangsa, 25 April 2022) dan menuntaskan hampir 93 persen vaksinasi tahap satu, 71 persen tahap dua serta 5,5 persen vaksinasi tahap tiga (Kemenkes.go.id).
Kini angka pandemi terus melandai dan bersiap memasuki era endemi.
Harus diakui, baik oleh Jokowi dan pendukung loyalnya, kebesaran Jokowi tidak terlepas dari insting politik dan polesan Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri.
Sejak maju menjadi Walikota Solo, Gubernur DKI Jakarta hingga Presiden, Megawati dan PDI Perjuangan selalu “pasang badan” untuk Jokowi.
Dengan dukungan partai-partai besar selain PDI Perjuangan seperti Gerindra, Golkar, PKB, Nasdem, PPP, dan PAN misalnya, Jokowi memiliki “ukuran” politik yang besar dan dianggap masih memiliki peluang menang andai saja tidak ada pembatasan menjabat dua periode kepresidenan.
Belum lagi relawan yang tersebar dalam berbagai organisasi dan pendukung fanatik tanpa ikatan dan bersifat cair, Jokowi masih memiliki basis dukungan yang nyata.
Inilah yang saya sebut dengan Jokowi mempunyai “king size” yang cukup besar untuk magnitude politik.
Titah dan seruan Jokowi di Pilpres mendatang untuk mendukung calon presiden tertentu akan memiliki efek elektoral yang cukup.