PENTAS pemilu presiden 2024 belum juga dimulai, tetapi gonjang-ganjing antarelite politik dan manuver partai-partai politik sudah meruyak mengalahkan berita masih mahalnya harga minyak curah di berbagai daerah. Sudah mahal masih langka pula di pasaran.
Bagi “parnoko” alias partai nol koma sekian dengan merujuk raihan suara di pemilu kemarin, tentu memasrahkan nasib politik sembari mencari peluang agar tetap dilirik oleh partai lain yang butuh untuk menggenapkan suara.
Jangan heran, geliat “parnoko” di hari-hari ini sibuk mensolidkan kepengurusan agar tetap bisa ditusuk oleh pemilih di lembar kertas suara pemilu.
Bagi “parnoko”, jargon pembawa aspirasi baru, pejuang semangat baru, pro kerakyatan dan partai yang paling berada di baris terdepan perjuangan reformasi adalah “jualan” yang selalu didengungkan di setiap perhelatan pesta demokrasi.
Jangan heran pula, fenomena bajak-membajak partai atau kisruh internal partai “parnoko” kerap masih terjadi.
Drama pendirian Partai Mahasiswa yang penuh tanda tanya, ternyata dianggap Parkindo 1945 sebagai bentuk “pembajakkan” partai.
Bagi partai-partai semenjana, yakni yang raihan suaranya di bawah 5 persen di pemilu kemarin, mau tidak mau harus lebih rajin mengkonsolidasikan kepengurusan di level kabupaten, kota dan provinsi.
Persaingan antarparpol memperebutkan suara pemilih di tengah semakin “mata duitan” para pencoblos kertas surat suara menjadi semakin ketat.
Memilih teman koalisi tidak lagi didasarkan kesamaan platform atau irisan ideologi yang sama tetapi pada dasarnya partai-partai berkoalisi untuk mencari “peluang” menang bersama.
Komposisi jabatan menteri atau posisi strategis lainnya menjadi harapan maksimalnya.
Hal inilah yang bisa dipahami dari akomodasi politik yang diberikan Jokowi terhadap Partai Persatuan Indonesia (Perindo) atau Partai Solidaritas Indonesia (PSI) yang beroleh posisi wakil menteri di kabinet.
Walau Perindo mendulang 2,68 persen dan PSI beroleh 1,74 persen di Pemilu 2019 lalu, lebih beruntung daripada Partai Berkarya yang meraup 2,03 persen atau Partai Garuda yang hanya menjaring 0,50 persen karena salah strategi memilih koalisi.
Strategi memberikan “jabatan” demi memberi akomodasi politik bagi partai-partai penyokongnya, inilah yang saya sebut dengan “king koil” untuk merujuk merek kasur peraduan.
Jokowi memberikan “kenyamanan” politik bagi “konco-konco” partai koalisi walau secara manajemen birokrasi, sungguh tidak efektif dan penuh pemborosan.
Penciptaan posisi wakil menteri di hampir semua kementerian sangat memboroskan finansial negara.