JAKARTA, KOMPAS.com - Pemerintah mengusulkan agar Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) mengatur hukuman pidana terhadap praktik pemaksaan hubungan seksual atau perkosaan di dalam perkawinan (marital rape) dengan delik aduan.
Wakil Menteri Hukum dan HAM Edward Omar Sharif Hiariej mengatakan, usulan tersebut sesuai dengan ketentuan yang telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT).
"Penjelasan kami adalah marital rape, perkosaan dalam perkawinan ditambah dalam rumusan (Pasal) 479 sebagai konsisten terhadap Pasal 53 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang KDRT," kata Edward dalam rapat dengan Komisi III DPR, Rabu (25/5/2022).
Baca juga: Revisi KUHP, Nakes yang Lakukan Aborsi terhadap Korban Pemerkosaan Tak Dipidana
Berdasarkan dokumen berjudul 'Isu Krusial RUU KUHP' yang dirilis oleh Kementerian Hukum dan HAM, ketentuan pidana mengenai perkosaan akan diatur dalam Pasal 479 RKUHP.
Pasal 479 Ayat (1) berbunyi, "Setiap Orang yang dengan Kekerasan atau Ancaman Kekerasan memaksa seseorang bersetubuh dengannya dipidana karena melakukan perkosaan, dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun".
Lalu, pada Ayat (6) dijelaskan bahwa perkosaan dalam ikatan perkawinan dapat dipidana atas pengaduan korban.
Baca juga: Draf RKUHP, Pemerintah Usul Cabut Aturan Kepala Desa Bisa Adukan Pasangan Kumpul Kebo
"Dalam hal Tindak Pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam ikatan perkawinan, tidak dilakukan penuntutan kecuali atas pengaduan korban," demikian bunyi Ayat (6) pasal tersebut.
Ketentuan di atas merupakan ketentuan yang baru dicantumkan dalam draf RKUHP.
Draf RKUHP sebelumnya yang hampir disahkan pada 2019 lalu tidak mencantumkan ketentuan pidana mengenai pemaksaan hubungan seksual dalam ikatan perkawinan.
Pemerintah dan DPR menargetkan RKUHP dapat disahkan pada Juli 2022 mendatang.
"Kalau saya tadi berbicara dengan yang mulia teman-teman pimpinan komisi tiga sepertinya akan diselesaikan pada bulan Juli 2022," ujar Eddy, sapaan akrab Edward, Rabu kemarin.
Seperti diketahui, pembahasan RKUHP tidak dilakukan dari awal karena berstatus carry over dari DPR periode sebelumnya.
Pada 2019 lalu, RKUHP sudah disepakati di tingkat I tetapi urung dibawa ke rapat paripurna untuk disahkan akibat masifnya penolakan masyarakat.
Dalam rapat pada Rabu kemarin, Komisi III DPR telah menerima penjelasan dari pemerintah terkait 14 isu dalam RKUHP yang telah disosialisasikan kepada masyarakat.
Anggota Komisi III DPR Arsul Sani menjelaskan, selanjutnya DPR akan mengirim surat kepada Presiden Joko Widodo agar pemerintah secara formal mengajukan kembali RKUHP ke DPR.
"Setelah itu Komisi III bersama dengan pemerintah akan menyisir lebih dahulu, menyepakati redaksi pasal yg mengalami perubahan dan penjelasan pasal. Setelah semuanya disepakati kembali maka akan diputuskan untuk dibawa ke rapat paripurna DPR," kata Arsul, Kamis (26/5/2022).
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.