KETUA Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Yahya Cholil Staquf (Gus Yahya) menegaskan kembali komitmennya untuk tidak membawa NU ke ranah politik.
Gus Yahya menyeru kepada partai-partai politik untuk tidak menggunakan NU menjadi senjata kompetisi politik.
Menurut Gus Yahya, NU milik semua bangsa sehingga jika dibiarkan terus begini (terseret dalam arus politik praktis), tidak sehat.
Gus Yahya juga meminta partai politik tidak menggunakan politik identitas agama, termasuk mengekploitasi identitas NU untuk politik. NU selalu untuk bangsa, cetus Gus Yahya. (Kompas, 24 Mei 2022).
Pernyataan Gus Yahya dapat kita maknai dari dua sisi. Pertama, Gus Yahya sedang mengembalikan marwah NU sebagai organisasi keagamaan yang hanya bergerak di ranah dakwah dan pendidikan sebagaimana Khittah 1926 yang dideklarasikan dalam Muktamar NU 1984 di Situbondo.
Sejak tokoh-tokoh NU mendirikan Partai Kebanagkitan Bangsa (PKB) tahun 1998, Kittah 1926 nyaris tidak bergaung lagi.
Bahkan ada upaya pengaburan di mana deklarasi 1984 dilakukan hanya sebagai upaya menyelamatkan NU dari tekanan rezim Orde Baru.
Sebab jauh sebelumnya NU pun pernah menjadi partai politik setelah keluar dari Masyumi dan menjadi pemenang ketiga di Pemilu 1955.
Kedua, Gus Yahya sedang berupaya “membersihkan” rumah besar NU dari kelompok oportunis yang memanfaatkan NU semata untuk kepentingan politik.
Keberhasilan duet Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar dan Ketua PBNU (saat itu) KH Said Aqil Siradj “menekan” Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk “membatalkan” Mahfud Md sebagai calon wakil presiden (cawapres) yang akan mendampingi di Pemilu Presiden (Pilpres) 2019, menjadi tonggak sekaligus role model yang membangkitkan antusiasme Nahdliyin di akar rumput untuk mulai bermimpi meraih jabatan-jabatan politis di pemerintahan melalui NU.
Pernyataan “Mahfud bukan kader NU” sehingga tidak ada jaminan Nahdliyin akan mendukung Jokowi, sangat heroik karena menegaskan posisinya sebagai kekuatan politik yang bisa menjadi pembeda hasil pilpres.
Dengan jumlah anggota yang diklaim antara 70-90 juta orang, NU sangat seksi digunakan sebagai alat tawar kepada pihak manapun.
Pada titik tertentu, NU tidak lagi menjadi kekuatan moral dan elitenya tidak menempatkan diri sebagai guru bangsa.
Sikap Gus Yahya menjadi sangat menarik karena berani melawan arus. Terlebih larangan tersebut tidak sebatas dukung-mendukung partai politik.
Kader-kader NU juga dilarang menggunakan identitasnya terlibat dalam dukung-mendukung calon presiden.
Teguran kepada PCNU Banyuwangi dan Sidoarjo karena terlibat dalam konsolidasi politik mendukung salah satu bakal calon presiden, adalah kuncinya.
Dengan tidak mendukung kontestasi politik seperti pilpres, berarti tidak ada lagi mimpi bagi kader-kader grass root di bawah kepemimpinan Gus Yahya untuk mendapatkan jabatan di lembaga-lembaga pemerintah dan BUMN - yang sering dimaksudkan sebagai “balas budi”. Misalnya, jabatan komisaris BUMN.
Dalam konstruksi pemahaman ini, apakah kader-kader yang kehilangan mimpi mendapatkan jabatan di struktural pemerintahan melalui identitas NU, masih tetap akan sami'na wa 'atho'na?
Boleh jadi akan muncul “penolakan halus” sehingga Muhaimin Iskandar berani sesumbar Nahdliyin tidak akan terpengaruh ucapan siapa pun dalam mendukung PKB.
Generasi milenial NU sangat mungkin tetap akan berpolitik tanpa embel-embel lambang 9 bintang.
Namun jika kondisi demikian berlanjut sampai Pemilu 2024, juga akan merugikan PKB. Sikap “jumawa” Muhaimin akan menjadi catatan tersendiri bagi kader NU yang masih memandang kiai sebagai “tokoh tak tercela” dan eksistensinya sangat dihormati.
Frasa “struktural sakarepmu” sulit diterima oleh mereka yang hidup dalam tradisi pesantren tradisional.
Ungkapan sakarepmu (semaumu) bisa jadi dianggap kasar dan jauh dari nilai-nilai NU. Ingat, banyak kiai dan ulama kharismatik yang menjadi pengurus NU.
Kader-kader muda tetap akan berpolitik secara diam-diam, namun pelabuhannya bukan lagi PKB melainkan PPP, Golkar, bahkan mungkin juga PDIP, Nasdem dan Demokrat.
Meski pada kontestasi politik sebelumnya hal ini sudah terjadi, namun ketegangan hubungan PKB dan NU akan memaksa migrasi yang lebih besar.
Dengan kalkulasi apa pun, sulit bagi Muhaimin untuk mempertahankan 13 juta suara seperti pada Pemilu 2019.
Hal buruk lainnya, kondisi saat ini bisa menjadi dorongan faksi-faksi yang kontra terhadap kepemimpinan Muhaimin di PKB.
Bukan rahasia lagi, kelompok Gusdurian masih banyak yang belum sepenuhnya legowo ketika Zannuba Ariffah Chafsoh alias Yenny Wahid terpaksa hengkang setelah kalah dalam perebutan bendera PKB melawan Muhaimin.
Gelaran musyawarah cabang yang diselenggarakan serentak tahun 2021 lalu, juga masih menyimpan sejumlah friksi di daerah yang bukan mustahil akan mengkristal menjadi sebentuk perlawanan untuk menggeser Gus Muhaimin jika ada tokoh kuat yang mem-back-up.
Kita tidak menafikan kepiawaian politik Gus Muhaimin. Keberhasilannya mendongkrak perolehan suara PKB tidak terlepas dari manuvernya dalam “mengolah” isu larangan cantang - program andalan Menteri Kelautan dan Perikanan (saat itu) Susi Pudjiastuti.
Bahkan akibat kuatnya tekanan, Susi dipaksa melakukan moratorium larangan cantrang pada 6 wilayah.
Artinya, sebagian perolehan suara PKB di Pemilu 2019 sangat mungkin disokong dari kelompok nelayan yang keluhannya diakomodasi PKB melalui organisai sayap Gerbang Tani.
Namun terlalu dini jika berasumsi PKB bisa eksis tanpa kader-kader NU dan dukungan para kiai. B
utuh waktu untuk mentransformasikan “partai umat” menjadi partai inklusif dan modern. Dan Gus Muhaimin bukan sosok yang tepat untuk melakukan hal itu.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.