"Kita tahu surat tuntutan tidak berdampak langsung pada terdakwa karena hakim memutus berdasarkan surat dakwaan. Namun, dari tuntutan, kita bisa melihat perspektif menegak hukum, apalagi mereka dianggap sebagai representasi korban yaitu dalam hal ini negara dan masyarakat," ujar Kurnia.
Selain itu, kata Kurnia, tren vonis hakim dalam perkara korupsi sepanjang 2021 dinilai belum mencerminkan rasa keadilan. Sebab rata-rata vonis yang dijatuhkan majelis hakim terhadap terdakwa korupsi pada tahun lalu sekitar 3,5 tahun penjara.
Selain itu, 24 terdakwa yang terbukti korupsi anggaran penanganan pandemi Covid-19 juga rata-rata hanya divonis 3,5 tahun penjara.
Baca juga: KPK: Analisis Vonis Kasus Korupsi 2021 ICW Salah Kaprah
"Yang dituntut dari korupsi sebagai extraordinary crime (kejahatan luar biasa) adalah treatment (penanganan) yang juga luar biasa dan tidak sama dengan tindak pidana umum, termasuk di dalamnya tuntutan penegak hukum dan juga vonis majelis hakim," lanjut Kurnia.
ICW juga menyoroti sisi pengembalian kerugian keuangan negara dari kasus korupsi sepanjang 2021 yang dinilai tidak sebanding. Menurut Kurnia, 2021 juga menjadi tahun di mana angka kerugian negara yang tercatat akibat kasus korupsi, terbanyak dalam lima tahun terakhir yakni sebesar Rp 62,9 triliun.
Akan tetapi jumlah pengembalian kerugian keuangan negara yang dijatuhkan majelis hakim terhadap pelaku rasuah hanya Rp 1,4 triliun atau 2,2 persen.
ICW menemukan, rendahnya jumlah uang pengganti ini tak terlepas dari pidana penjara pengganti pada 2021 yang, jika dirata-rata, hanya selama 1 tahun 2 bulan penjara.
Hal ini ditengarai membuat para terpidana memilih menjalani pidana penjara pengganti, ketimbang harus membayar uang pengganti yang jumlahnya bisa mencapai puluhan, ratusan juta, atau miliaran rupiah.
"Kita tahu pemberian efek jera tidak cukup mengandalkan pemenjaraan tapi mesti paralel dengan pengembalian kerugian negara," kata Kurnia.
Baca juga: MAKI: Koruptor Seharusnya Dituntut 20 Tahun atau Seumur Hidup
Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung (Kejagung) Republik Indonesia Ketut Sumedana mengatakan catatan itu merupakan kewenangan ICW untuk memberikan penilaian.
"Itukan penilaian mereka kita tidak bisa membatasi," ujar Ketut saat dihubungi Kompascom, Senin (23/5/2022).
Menurut dia, jajaran Korps Adhyaksa tetap bekerja secara maksimal untuk memberikan kinerja yang lebih baik. Ia juga mengatakan, catatan ICW itu akan dijadikan bahan instrospeksi jajaran.
"Semua kita jadikan bahan introspeksi dan motivasi kedepan untuk kinerja kejaksaan lebih baik," ucap dia.
Sedangkan KPK menilai analisis ICW perihal tren tuntutan, vonis, dan pengembalian kerugian negara dalam kasus korupsi sepanjang 2021 salah kaprah.
"Dari analisis yang salah kaprah tersebut, maka kesimpulan premature yang dihasilkan pun bisa dipastikan keliru," ujar Pelaksana Tugas Juru Bicara KPK Ali Fikri, kepada Kompas.com, Senin (23/5/2022).
Baca juga: ICW Sebut Kejagung Banyak Beri Tuntutan Ringan ke Koruptor, Komjak: Kasus Harus Dilihat secara Utuh
"Terutama pembahasan pada aspek pidana badan, jumlah uang pengganti, maupun tuntutan pidana tambahan lainnya," ucapnya.
Ali berpendapat, kesalahan analisis ICW terletak saat mencampuradukkan Pasal 2 atau Pasal 3 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) dengan Pasal penyuapan dan gratifikasi.
Padahal, untuk menghitung besarnya kerugian negara kasus yang dianalisis seharusnya hanya yang dijerat dengan Pasal 2 atau 3 Undang-Undang Tipikor.
(Penulis : Rahel Narda Chaterine, Irfan Kamil | Editor : Dani Prabowo, Krisiandi)
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.