JAKARTA, KOMPAS.com - Indonesia Corruption Watch (ICW) mengeklaim bahwa tidak ada kekeliruan dari hasil analisis terkait tren vonis kasus korupsi 2021 yang telah dirilis.
Hal itu disampaikan Peneliti ICW Kurnia Ramadhana menanggapi pernyataan Pelaksana Tugas Juru Bicara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Ali Fikri yang menilai bahwa analisis ICW salah Kaprah.
Kurnia menyebutkan, analisis yang dilakukan ICW berdasarkan sumber primer yaitu Sistem Informasi Penelusuran Perkara (SIPP) Pengadilan Negeri, Direktori Putusan Mahkamah Agung dan pemberitaan di media massa.
Baca juga: Negara Masih Bermurah Hati kepada Koruptor Selama 2021
"Penting kami sampaikan, berdasarkan data yang kami dapatkan melalui pencarian dengan menggunakan sumber primer atau SIPP dan Direktori Putusan serta sumber sekunder atau pemberitaan daring selama tahun 2021," ujar Kurnia kepada Kompas.com, Selasa (24/5/2022).
ICW pun menilai KPK yang keliru dalam menanggapi hasil analisisnya terkait putusan kasus korupsi pada tahun 2021 tersebut.
Berdasarkan data primer tersebut, ujarnya, KPK hanya menangani kasus korupsi dengan kerugian negara yang jauh lebih kecil dari Kejaksaan.
"KPK hanya menangani perkara korupsi dengan jumlah kerugian keuangan negara sebesar Rp 802 miliar. Sedangkan, sisanya ditangani oleh Kejaksaan yang mencapai Rp 62 triliun," papar Kurnia.
Lebih lanjut, ICW juga membantah telah mencampuradukkan Pasal 2 atau Pasal 3 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) dengan Pasal penyuapan dan gratifikasi.
Kurnia pun membantah tudingan bahwa ICW tidak memasukan subsider hukuman dalam analisis yang sudah dipaparkan ke publik.
"Tentu kami memahami bahwa kerugian keuangan negara berbeda dengan tindak pidana suap sebagaimana disampaikan oleh Saudara Ali (Plt Jubir KPK). Maka dari itu, data tersebut kami batasi pada penggunaan Pasal 2 dan Pasal 3 UU Tipikor," ucap Kurnia.
"Terkait dengan pencabutan hak politik, kami menemukan ada sejumlah terdakwa yang tidak dituntut dengan pidana tambahan tersebut," tuturnya.
Sebelumnya, KPK menilai analisis ICW terkait tren vonis kasus korupsi 2021 salah kaprah. Hal itu disampaikan Ali Fikri menanggapi temuan ICW yang menyebutkan bahwa penindakan terhadap terpidana korupsi sepanjang tahun lalu yang belum memberikan efek jera.
"Dari analisis yang salah kaprah tersebut, maka kesimpulan premature yang dihasilkan pun bisa dipastikan keliru," ujar Ali, kepada Kompas.com, Senin (23/5/2022).
"Terutama pembahasan pada aspek pidana badan, jumlah uang pengganti, maupun tuntutan pidana tambahan lainnya," ucapnya.
Ali berpendapat, kesalahan analisis ICW terletak saat mencampuradukkan Pasal 2 atau Pasal 3 UU Tipikor dengan Pasal penyuapan dan gratifikasi.
Padahal, untuk menghitung besarnya kerugian negara kasus yang dianalisis seharusnya hanya yang dijerat dengan Pasal 2 atau 3 Undang-Undang Tipikor.
Lebih lanjut, Ali juga menyinggung pemahaman pasal-pasal tindak pidana korupsi yang tidak bisa disamarakatan pada penanganan kasus tindak pidana korupsi.
Ia mengatakan, secara tipologi hukum kasus suap tidak berkaitan dengan kerugian keuangan negara.
Baca juga: KPK: Analisis Vonis Kasus Korupsi 2021 ICW Salah Kaprah
KPK pun menyoroti kajian ICW yang tidak memasukan pidana tambahan dalam analisis tersebut seperti pencabutan hak politik. ICW juga dinilai melupakan pembahasan subsider hukuman yang biasa dimasukkan putusan suatu perkara.
"Sehingga bisa jadi, pengembalian kerugian keuangan negara tersebut digantikan dengan hukuman badan. Mekanisme tersebut berlaku sah demi hukum," papar Ali.
KPK pun menyayangkan adanya kesalahkaprahan dalam analisis yang dilakukan oleh pegiat antikorupsi itu. Menurut Ali, analisis tersebut dapat membelokkan informasi yang berkembang di masyarakat.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.