JAKARTA, KOMPAS.com - Wakil Menteri Hukum dan HAM (Wamenkumham) Eddy Hiariej menjelaskan, pidana mati yang diterapkan di Indonesia selalu mengundang perdebatan.
Eddy mengatakan, ada kaum yang ingin mempertahankan hukuman mati, namun di satu sisi juga menolaknya.
"Persoalan pidana mati ini adalah persoalan yang secara hukum itu sangat debatable. Karena apa? Kita akan dihadapkan terhadap pendapat kaum yang ingin menghapus pidana mati dan kaum yang ingin tetap mempertahankan pidana mati," ujar Eddy dalam diskusi virtual seperti disiarkan YouTube ICJRid, Selasa (23/5/2022).
Baca juga: Efek Jera Pidana Mati Dinilai Hanya Berupa Asumsi
Eddy mengatakan, kedua kaum itu sama-sama memiliki mahzab teori yang kuat.
Sehingga, Indonesia memutuskan untuk mengambil jalan tengah atau 'Indonesian way' mengenai pidana mati.
"Saya kasih contoh konkrit, aktivis HAM itu bertolak belakang dengan aktivis antikorupsi. Aktivis antikorupsi selalu berteriak pengen koruptor dihukum mati. Aktivis HAM sebaliknya, tidak boleh ada pidana mati," tuturnya.
"Artinya apa? Sesama teman-teman aktivis saja tidak ada satu kata soal pidana mati ini," sambung Eddy.
Baca juga: Akademisi: Penerapan Pidana Mati Meningkatkan Kekerasan di Masyarakat
Lebih lanjut, Eddy memaparkan pidana mati bukan sekadar persoalan hukum saja, melainkan juga agama, sosial, dan politik.
Eddy juga mengaku sudah berdiskusi mengenai hukuman mati dengan Duta Besar (Dubes) dari Amerika Serikat, Australia, dan Belanda.
"Kalau Dubes AS sih tidak banyak bertanya, Amerika pertahankan pidana mati meskipun di beberapa negara bagian sudah menghapus. Tapi secara nasional tetap mengakui pidana mati," katanya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.