Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pemerintah Didesak Tegas Copot Aparat yang Loyo dalam Berantas Korupsi

Kompas.com - 24/05/2022, 06:03 WIB
Aryo Putranto Saptohutomo

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com - Peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) Agil Oktaryal mengatakan, pemerintah harus tegas dalam melakukan evaluasi, atau bahkan mencopot, pimpinan lembaga penegak hukum seperti Kejaksaan dan KPK jika kinerjanya dinilai tidak sesuai dengan target dalam menangani perkara korupsi.

Sebab menurut dia, jika hal itu tidak dilakukan maka penegakan hukum untuk memerangi korupsi tidak akan maksimal dalam segi memberikan efek jera kepada pelaku dan juga mengembalikan kerugian keuangan negara.

"Pemerintah selaku atasan administratif aparat penegak hukum harus berani mengevaluasi aparat penegak hukum dengan mendasarkan kinerja dalam proses penegakan hukum," kata Agil saat dihubungi Kompas.com, Senin (23/5/2022).

"Berani melakukan pergantian pimpinan lembaga penegak hukum jika tidak memenuhi target pemberantasan korupsi dan pemulihan aset negara," sambung Agil.

Baca juga: Rata-rata Terdakwa Kasus Korupsi pada 2021 Divonis Ringan oleh Majelis Hakim

Pernyataan itu disampaikan Agil menanggapi hasil riset Indonesia Corruption Watch (ICW) terkait tren penuntutan dan vonis terhadap kasus-kasus korupsi sepanjang 2021.

Agil juga menekankan pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) harus betul-betul berkomitmen untuk melakukan pemberantasan korupsi. Salah satu wujudnya, kata dia, adalah melalui pembenahan regulasi.

Menurut Agil, pemerintah harus segera mengesahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset, RUU Pembatasan Transaksi Uang Kartal, dan perubahan UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor).

Agil mengatakan, UU Tipikor saat ini terbukti tidak cukup ampuh memberikan efek jera terhadap para pelaku.

"Sebab, kehadiran regulasi itu diyakini akan membantu aparat penegak hukum dalam menindak pelaku korupsi dengan mengedepankan pendekatan modern berupa pemulihan kerugian keuangan negara," kata Agil.

Baca juga: Negara Rugi Rp 62,9 Triliun karena Korupsi pada 2021, yang Kembali Hanya Rp 1,4 Triliun

Dalam paparan pada akhir pekan lalu, ICW menyoroti tiga titik kelemahan penegak hukum dalam tren putusan kasus korupsi, yakni dari vonis yang ringan, tuntutan jaksa dari Kejaksaan dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang dinilai kurang maksimal, sampai pengembalian kerugian keuangan negara yang tidak sepadan dengan nilai korupsi.

Menurut peneliti ICW Kurnia Ramadhana dalam jumpa pers daring yang diunggah di kanal YouTube, Minggu (22/5/2022), sepanjang 2021 terdapat 1.282 perkara dan 1.404 terdakwa kasus korupsi yang ditangani oleh Komisi Pemberantasan Korupsi serta pihak kejaksaan, baik Kejaksaan Agung, Kejaksaan Tinggi maupun Kejaksaan Negeri.

Akan tetapi, dari ribuan perkara itu, rata-rata tuntutan yang diajukan jaksa penuntut umum dari kedua lembaga itu hanya 4 tahun 5 bulan. Sedangkan untuk kasus korupsi yang dikenakan pasal dengan hukuman maksimal 20 tahun penjara, rata-rata tuntutannya 55 bulan atau 4 tahun 7 bulan.

Sementara, untuk perkara dengan hukuman maksimum 5 tahun penjara, rata-rata tuntutannya hanya 2 tahun 9 bulan.

Menurut Kurnia, terdapat peningkatan tren tuntutan dibandingkan 2020. Meski begitu, ICW memandang hal tersebut belum memuaskan lantaran peningkatan trennya yang rendah.

Baca juga: Sepanjang 2021, Rata-rata Terdakwa Kasus Korupsi Dituntut Tak sampai 4,5 Tahun Penjara oleh KPK dan Kejaksaan

Selain itu, latar belakang terpidana korupsi yang merupakan pejabat publik seharusnya membuat jaksa memberikan tuntutan hukuman yang lebih maksimal.

Korps Adhyaksa tercatat menjadi lembaga yang paling banyak memberikan tuntutan ringan (0-4 tahun penjara). Total, ada 623 terdakwa yang dituntut ringan. Sementara, yang dituntut sedang (4-10 tahun) ada 587 terdakwa, dan hanya 44 terdakwa yang dituntut berat atau lebih dari 10 tahun.

"Kita tahu surat tuntutan tidak berdampak langsung pada terdakwa karena hakim memutus berdasarkan surat dakwaan. Namun, dari tuntutan, kita bisa melihat perspektif menegak hukum, apalagi mereka dianggap sebagai representasi korban yaitu dalam hal ini negara dan masyarakat," ujar Kurnia.

Selain itu, kata Kurnia, tren vonis hakim dalam perkara korupsi sepanjang 2021 dinilai belum mencerminkan rasa keadilan. Sebab rata-rata vonis yang dijatuhkan majelis hakim terhadap terdakwa korupsi pada tahun lalu sekitar 3,5 tahun penjara.

Selain itu, 24 terdakwa yang terbukti korupsi anggaran penanganan pandemi Covid-19 juga rata-rata hanya divonis 3,5 tahun penjara.

Baca juga: KPK: Analisis Vonis Kasus Korupsi 2021 ICW Salah Kaprah

"Yang dituntut dari korupsi sebagai extraordinary crime (kejahatan luar biasa) adalah treatment (penanganan) yang juga luar biasa dan tidak sama dengan tindak pidana umum, termasuk di dalamnya tuntutan penegak hukum dan juga vonis majelis hakim," lanjut Kurnia.

ICW juga menyoroti sisi pengembalian kerugian keuangan negara dari kasus korupsi sepanjang 2021 yang dinilai tidak sebanding. Menurut Kurnia, 2021 juga menjadi tahun di mana angka kerugian negara yang tercatat akibat kasus korupsi, terbanyak dalam lima tahun terakhir yakni sebesar Rp 62,9 triliun.

Akan tetapi jumlah pengembalian kerugian keuangan negara yang dijatuhkan majelis hakim terhadap pelaku rasuah hanya Rp 1,4 triliun atau 2,2 persen.

ICW menemukan, rendahnya jumlah uang pengganti ini tak terlepas dari pidana penjara pengganti pada 2021 yang, jika dirata-rata, hanya selama 1 tahun 2 bulan penjara.

Hal ini ditengarai membuat para terpidana memilih menjalani pidana penjara pengganti, ketimbang harus membayar uang pengganti yang jumlahnya bisa mencapai puluhan, ratusan juta, atau miliaran rupiah.

"Kita tahu pemberian efek jera tidak cukup mengandalkan pemenjaraan tapi mesti paralel dengan pengembalian kerugian negara," kata Kurnia.

(Penulis : Vitorio Mantalean | Editor : Dani Prabowo)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Tanggal 19 April 2024 Memperingati Hari Apa?

Tanggal 19 April 2024 Memperingati Hari Apa?

Nasional
Megawati Serahkan ‘Amicus Curiae’  ke MK, Anies: Menggambarkan Situasi Amat Serius

Megawati Serahkan ‘Amicus Curiae’ ke MK, Anies: Menggambarkan Situasi Amat Serius

Nasional
Megawati Ajukan Amicus Curiae, Airlangga: Kita Tunggu Putusan MK

Megawati Ajukan Amicus Curiae, Airlangga: Kita Tunggu Putusan MK

Nasional
Bupati Sidoarjo Tersangka Dugaan Korupsi, Muhaimin: Kita Bersedih, Jadi Pembelajaran

Bupati Sidoarjo Tersangka Dugaan Korupsi, Muhaimin: Kita Bersedih, Jadi Pembelajaran

Nasional
Airlangga Sebut Koalisi Prabowo Akan Berdiskusi terkait PPP yang Siap Gabung

Airlangga Sebut Koalisi Prabowo Akan Berdiskusi terkait PPP yang Siap Gabung

Nasional
Dikunjungi Cak Imin, Anies Mengaku Bahas Proses di MK

Dikunjungi Cak Imin, Anies Mengaku Bahas Proses di MK

Nasional
AMPI Resmi Deklarasi Dukung Airlangga Hartarto Jadi Ketum Golkar Lagi

AMPI Resmi Deklarasi Dukung Airlangga Hartarto Jadi Ketum Golkar Lagi

Nasional
MK Ungkap Baru Kali Ini Banyak Pihak Ajukan Diri sebagai Amicus Curiae

MK Ungkap Baru Kali Ini Banyak Pihak Ajukan Diri sebagai Amicus Curiae

Nasional
Bappilu PPP Sudah Dibubarkan, Nasib Sandiaga Ditentukan lewat Muktamar

Bappilu PPP Sudah Dibubarkan, Nasib Sandiaga Ditentukan lewat Muktamar

Nasional
Yusril Anggap Barang Bukti Beras Prabowo-Gibran di Sidang MK Tak Buktikan Apa-apa

Yusril Anggap Barang Bukti Beras Prabowo-Gibran di Sidang MK Tak Buktikan Apa-apa

Nasional
Panglima TNI Tegaskan Operasi Teritorial Tetap Dilakukan di Papua

Panglima TNI Tegaskan Operasi Teritorial Tetap Dilakukan di Papua

Nasional
TNI Kembali Pakai Istilah OPM, Pengamat: Cenderung Pakai Pendekatan Operasi Militer dalam Mengatasinya

TNI Kembali Pakai Istilah OPM, Pengamat: Cenderung Pakai Pendekatan Operasi Militer dalam Mengatasinya

Nasional
Tim Hukum Ganjar-Mahfud Tetap Beri Angka Nol untuk Perolehan Suara Prabowo-Gibran

Tim Hukum Ganjar-Mahfud Tetap Beri Angka Nol untuk Perolehan Suara Prabowo-Gibran

Nasional
Soal Bantuan Presiden, Kubu Ganjar-Mahfud: Kalau Itu Transparan, kenapa Tak Diumumkan dari Dulu?

Soal Bantuan Presiden, Kubu Ganjar-Mahfud: Kalau Itu Transparan, kenapa Tak Diumumkan dari Dulu?

Nasional
Minta MK Kabulkan Sengketa Hasil Pilpres, Kubu Anies: Kita Tidak Rela Pemimpin yang Terpilih Curang

Minta MK Kabulkan Sengketa Hasil Pilpres, Kubu Anies: Kita Tidak Rela Pemimpin yang Terpilih Curang

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com