JAKARTA, KOMPAS.com - Pelaksanaan pemilihan umum perdana di Indonesia pada 1955 selalu dikenang sebagai pemilu yang paling demokratis.
Ada sejumlah uraian yang menjelaskan mengapa pemilu 1955 kerap dipuji sebagai yang paling demokratis di antara pemilu lain.
Argumen pertama adalah pemilu 1955 dilakukan dengan bebas dan jujur, tanpa paksaan. Jika dibandingkan dengan pemilu selanjutnya yang digelar di masa pemerintahan Orde Baru memang dinilai bertolak belakang.
Baca juga: KPU Rencanakan Pendaftaran Parpol Peserta Pemilu Agustus 2022, Bakal Gunakan Sipol
Sebab pemilu selama masa pemerintahan Orde Baru dinilai penuh rekayasa sehingga terus menerus dimenangkan oleh Golkar sebagai pilar politik utama guna mendukung kekuasaan Soeharto. Apalagi saat itu seluruh pegawai negeri sipil diwajibkan memilih Golkar, dan akan mendapatkan hukuman jika membangkang. Hukumannya bisa dimutasi sampai penundaan kenaikan gaji atau jabatan.
Selain itu, saat pemilu 1955 tidak terjadi politik uang atau serangan fajar seperti yang terjadi di masa Orde Baru bahkan sampai setelah reformasi.
Pemilu 1955 juga memperlihatkan spektrum politik Indonesia, dengan diikuti oleh berbagai partai dengan beragam latar belakang ideologi.
Selain itu, pemilu pada saat itu bisa digelar dalam kondisi bangsa yang baru berusia satu dasawarsa dan tengah diliputi berbagai gejolak keamanan di dalam negeri seperti pemberontakan. Selain itu, aparat militer dan kepolisian saat itu masih diberi hak untuk memilih.
Baca juga: Sejarah Pemilu dan Pilpres 2019, dari Peserta hingga Hasil
Meski kondisi tengah rawan, tetapi pemilu 1955 bisa berlangsung aman dan dengan jumlah keikutsertaan pemilih yang sangat tinggi, yakni 87,66 persen dari 43.104.464 pemilih terdaftar.
Selain itu, saat itu pemerintah membebaskan seluruh partai politik, organisasi masyarakat, hingga calon perseorangan mengikuti pemilu dari beragam ideologi atau yang berbasis kedekatan sosial, kemasyaratakan, etnis, kedaerahan hingga ras.
Hal itu dibuktikan dengan Partai Nasional Indonesia (PNI) yang mengusung ideologi nasionalisme, bisa bersaing dengan Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi) dan Partai Nahdlatul Ulama (NU) yang mengusung ideologi Islam, dan Partai Komunis Indonesia (PKI).
Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanSegera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.