Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Anicetus Windarto
Peneliti

Peneliti di Litbang Realino, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta

Reformasi 1998, Quo Vadis?

Kompas.com - 20/05/2022, 14:41 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Prasangka yang sudah bersemi sejak koloni Hindia Belanda dibangun dan tetap bertahan hingga kini adalah bukti tak terbantahkan bahwa Reformasi 1998 hanya menjadi tetenger atau monumen politik belaka yang layak untuk dikenang.

Monumen yang mirip dengan album foto sebagai kumpulan kenang-kenangan, memori, atau suvenir tentang masa lalu tanpa daya dan kuasa memoar yang mampu mengingatkan untuk membongkar dan membangun kembali apa yang sudah hilang, bahkan mangkir dari kehidupan sehari-hari.

Dalam konteks ini, memoar yang oleh Nancy Florida dalam bukunya berjudul Menyurat yang Silam, Menggurat yang Menjelang: Sejarah sebagai Nubuat di Jawa Masa Kolonial (Mata Bangsa, 2003) berperan untuk menggaungkan, justru hanya dihadirkan sebagai memori yang seakan-akan membanggakan dan tak terlupakan.

Padahal, anugerah Pahlawan Reformasi yang disematkan pada para mahasiswa yang tertembak dan terbunuh sama sekali tidak menjanjikan apapun juga, selain nama yang dikenang sebagai penanda pada sebuah nisan di pemakaman.

Jadi, tiada satupun yang bergerak, apalagi menggerakkan, dari Reformasi 1998 lantaran segalanya telah mangkir dari masa ke masa.

Syukurlah, masih ada para sastrawan seperti Seno Gumira Ajidarma, Ayu Utami, atau Leila Chudori, yang dengan bersusah-payah menyambung lidah rakyat yang selalu dibuang dari pikiran.

Melalui beragam karyanya, mereka berupaya menyuarakan kepentingan dari sebagian besar orang yang dianggap langka dalam peristiwa kekerasan Mei 1998.

Contohnya, dalam novelnya yang berjudul “Laut Bercerita” (KPG, 2017), dengan cukup cerdas Leila mengisahkan bagaimana dan mengapa kekerasan Mei 1998 menjadi semacam teror yang mampu menimbulkan trauma yang cukup mendalam dan bertahan agak lama.

Bahkan tanpa menunjuk siapa yang sesungguhnya berada di balik layar teror, novel itu telah menyibak tabir yang digunakan untuk menutupi kekuasaan yang selalu gemar tampil berseragam.

Hanya sayangnya, meski sastra sudah bicara, elite penguasa tetap bungkam seribu bahasa.

Singkatnya, tiada lagi rasa malu untuk mengakui bahwa kekerasan Mei 1998 adalah tragedi kemanusiaan yang diakibatkan oleh kepentingan sepihak dari mereka yang saat itu sedang berkuasa.

Sejalan dengan ini, semakin merajalelanya praktik korupsi, misalnya, pasca-Reformasi 1998 pun sesungguhnya bersumber pada hal dan masalah serupa.

Itu artinya, korupsi yang semakin kerap dilakukan oleh para pejabat negara, khususnya kepala daerah, memperlihatkan bahwa kerelaan untuk berkorban demi sesama sudah semakin menghilang.

Maka bukan kebetulan jika Benedict Anderson dalam salah satu kajiannya yang berjudul "Indonesian Nationalism Today and in the Future" (Indonesia 67, April 1999) mengungkapkan bahwa korupsi yang lebih samar dan berbahaya terjadi di Indonesia adalah justru terkait dengan nasionalisme.

Dengan kata lain, korupsi itu dikerjakan bukan hanya untuk menghabisi uang atau harta negara, tetapi juga mengorbankan hajat hidup orang banyak. Inilah yang dinamakan sebagai "korupsi nasionalisme".

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Daftar 33 Pengajuan Amicus Curiae Sengketa Pilpres 2024 di MK

Daftar 33 Pengajuan Amicus Curiae Sengketa Pilpres 2024 di MK

Nasional
Apa Gunanya 'Perang Amicus Curiae' di MK?

Apa Gunanya "Perang Amicus Curiae" di MK?

Nasional
Dampak Erupsi Gunung Ruang: Bandara Ditutup, Jaringan Komunikasi Lumpuh

Dampak Erupsi Gunung Ruang: Bandara Ditutup, Jaringan Komunikasi Lumpuh

Nasional
Megawati Lebih Pilih Rekonsiliasi dengan Jokowi atau Prabowo? Ini Kata PDI-P

Megawati Lebih Pilih Rekonsiliasi dengan Jokowi atau Prabowo? Ini Kata PDI-P

Nasional
Yusril Sebut Kekalahan Prabowo di Aceh Mentahkan Dugaan 'Cawe-cawe' Pj Kepala Daerah

Yusril Sebut Kekalahan Prabowo di Aceh Mentahkan Dugaan "Cawe-cawe" Pj Kepala Daerah

Nasional
Kejagung Kembali Sita Mobil Milik Harvey Moeis, Kini Lexus dan Vellfire

Kejagung Kembali Sita Mobil Milik Harvey Moeis, Kini Lexus dan Vellfire

Nasional
Yusril Harap 'Amicus Curiae' Megawati Tak Dianggap Tekanan Politik ke MK

Yusril Harap "Amicus Curiae" Megawati Tak Dianggap Tekanan Politik ke MK

Nasional
Soal Peluang Rekonsiliasi, PDI-P: Kami Belum Bisa Menerima Perlakuan Pak Jokowi dan Keluarga

Soal Peluang Rekonsiliasi, PDI-P: Kami Belum Bisa Menerima Perlakuan Pak Jokowi dan Keluarga

Nasional
IKN Teken Kerja Sama Pembangunan Kota dengan Kota Brasilia

IKN Teken Kerja Sama Pembangunan Kota dengan Kota Brasilia

Nasional
Yusril Sebut 'Amicus Curiae' Megawati Harusnya Tak Pengaruhi Putusan Hakim

Yusril Sebut "Amicus Curiae" Megawati Harusnya Tak Pengaruhi Putusan Hakim

Nasional
ICW Dorong Polda Metro Dalami Indikasi Firli Bahuri Minta Rp 50 M Ke SYL

ICW Dorong Polda Metro Dalami Indikasi Firli Bahuri Minta Rp 50 M Ke SYL

Nasional
Sertijab 4 Jabatan Strategis TNI: Marsda Khairil Lubis Resmi Jabat Pangkogabwilhan II

Sertijab 4 Jabatan Strategis TNI: Marsda Khairil Lubis Resmi Jabat Pangkogabwilhan II

Nasional
Hasto Beri Syarat Pertemuan Jokowi-Megawati, Relawan Joman: Sinisme Politik

Hasto Beri Syarat Pertemuan Jokowi-Megawati, Relawan Joman: Sinisme Politik

Nasional
Menerka Nasib 'Amicus Curiae' di Tangan Hakim MK

Menerka Nasib "Amicus Curiae" di Tangan Hakim MK

Nasional
Sudirman Said Akui Partai Koalisi Perubahan Tak Solid Lagi

Sudirman Said Akui Partai Koalisi Perubahan Tak Solid Lagi

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com