Prasangka yang sudah bersemi sejak koloni Hindia Belanda dibangun dan tetap bertahan hingga kini adalah bukti tak terbantahkan bahwa Reformasi 1998 hanya menjadi tetenger atau monumen politik belaka yang layak untuk dikenang.
Monumen yang mirip dengan album foto sebagai kumpulan kenang-kenangan, memori, atau suvenir tentang masa lalu tanpa daya dan kuasa memoar yang mampu mengingatkan untuk membongkar dan membangun kembali apa yang sudah hilang, bahkan mangkir dari kehidupan sehari-hari.
Dalam konteks ini, memoar yang oleh Nancy Florida dalam bukunya berjudul Menyurat yang Silam, Menggurat yang Menjelang: Sejarah sebagai Nubuat di Jawa Masa Kolonial (Mata Bangsa, 2003) berperan untuk menggaungkan, justru hanya dihadirkan sebagai memori yang seakan-akan membanggakan dan tak terlupakan.
Padahal, anugerah Pahlawan Reformasi yang disematkan pada para mahasiswa yang tertembak dan terbunuh sama sekali tidak menjanjikan apapun juga, selain nama yang dikenang sebagai penanda pada sebuah nisan di pemakaman.
Jadi, tiada satupun yang bergerak, apalagi menggerakkan, dari Reformasi 1998 lantaran segalanya telah mangkir dari masa ke masa.
Syukurlah, masih ada para sastrawan seperti Seno Gumira Ajidarma, Ayu Utami, atau Leila Chudori, yang dengan bersusah-payah menyambung lidah rakyat yang selalu dibuang dari pikiran.
Melalui beragam karyanya, mereka berupaya menyuarakan kepentingan dari sebagian besar orang yang dianggap langka dalam peristiwa kekerasan Mei 1998.
Contohnya, dalam novelnya yang berjudul “Laut Bercerita” (KPG, 2017), dengan cukup cerdas Leila mengisahkan bagaimana dan mengapa kekerasan Mei 1998 menjadi semacam teror yang mampu menimbulkan trauma yang cukup mendalam dan bertahan agak lama.
Bahkan tanpa menunjuk siapa yang sesungguhnya berada di balik layar teror, novel itu telah menyibak tabir yang digunakan untuk menutupi kekuasaan yang selalu gemar tampil berseragam.
Hanya sayangnya, meski sastra sudah bicara, elite penguasa tetap bungkam seribu bahasa.
Singkatnya, tiada lagi rasa malu untuk mengakui bahwa kekerasan Mei 1998 adalah tragedi kemanusiaan yang diakibatkan oleh kepentingan sepihak dari mereka yang saat itu sedang berkuasa.
Sejalan dengan ini, semakin merajalelanya praktik korupsi, misalnya, pasca-Reformasi 1998 pun sesungguhnya bersumber pada hal dan masalah serupa.
Itu artinya, korupsi yang semakin kerap dilakukan oleh para pejabat negara, khususnya kepala daerah, memperlihatkan bahwa kerelaan untuk berkorban demi sesama sudah semakin menghilang.
Maka bukan kebetulan jika Benedict Anderson dalam salah satu kajiannya yang berjudul "Indonesian Nationalism Today and in the Future" (Indonesia 67, April 1999) mengungkapkan bahwa korupsi yang lebih samar dan berbahaya terjadi di Indonesia adalah justru terkait dengan nasionalisme.
Dengan kata lain, korupsi itu dikerjakan bukan hanya untuk menghabisi uang atau harta negara, tetapi juga mengorbankan hajat hidup orang banyak. Inilah yang dinamakan sebagai "korupsi nasionalisme".