JAKARTA, KOMPAS.com - Proses penyelesaian kasus kasus-kasus dugaan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat masa lalu sampai saat ini masih menjadi perdebatan.
Dari pihak korban dan keluarga sangat berharap perkara itu diselesaikan melalui mekanisme pengadilan HAM ad hoc. Namun, pemerintah kembali mengajukan upaya penyelesaian melalui jalur lain yakni di luar pengadilan (non-yudisial).
Kepala Kantor Staf Presiden (KSP) Moeldoko mengatakan, pemerintah akan mengutamakan penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM berat sebelum tahun 2000 dilakukan melalui mekanisme non-yudisial.
"Untuk kasus-kasus dugaan pelanggaran HAM berat masa lalu (terjadi sebelum November 2000) akan diprioritaskan dengan penyelesaian melalui pendekatan non-yudisial. Seperti melalui Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR)," ujar Moeldoko saat menerima mahasiswa Trisakti sebagaimana dilansir dari siaran pers KSP, Rabu (18/5/2022).
Baca juga: Komnas HAM Desak Presiden Selesaikan 12 Kasus Pelanggaran HAM Berat Indonesia
Moeldoko mengatakan, pemerintah melalui Kementerian Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan (Kemenko Polhukam) sedang memfinalisasi draf kebijakan penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM berat melalui mekanisme non-yudisial, atau melalui Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. Selain itu, dia juga memastikan Pengadilan HAM peristiwa Paniai berjalan.
"Dengan pendekatan ini, kami berharap kasus Trisakti, Semanggi I dan II, Kasus Mei 98 dan lain-lain bisa turut terselesaikan," ujar Moeldoko.
Moeldoko mengatakan kasus Trisakti 1998 termasuk kategori pelanggaran HAM berat masa lalu yang idealnya diselesaikan melalui mekanisme non-yudisial. Kasus tersebut dapat diselesaikan melalui KKR.
Baca juga: Kontras Desak Kejagung Libatkan Penyidik Sipil Usut Pelanggaran HAM Berat Paniai
Kepada perwakilan mahasiswa Trisakti, Moeldoko juga menyatakan, meskipun pengadilan belum bisa digelar, pemerintah tetap mengupayakan agar para korban peristiwa Trisakti tetap mendapatkan bantuan dan pemulihan dari negara.
"Oleh karenanya pada 12 Mei lalu BUMN memberikan bantuan perumahan kepada 4 keluarga korban Trisakti. Ini bentuk kepedulian dan kehadiran negara di hadapan korban," ucap Moeldoko.
Kepala Divisi Pengawasan Impunitas Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Tioria Pretty Stephanie memperkirakan sikap pemerintah yang mendorong penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM berat di luar pengadilan hanya sebagai upaya "cuci tangan", tetapi tidak benar-benar memberi keadilan.
"Lagi-lagi upaya cuci tangan. Tidak ada itu menunggu putusan DPR. Sudah jelas di Putusan MK No 18/PUU-V/2007 bahwa proses DPR justru baru dimulai setelah ada hasil penyelidikan dan penyidikannya. Jadi sudah tidak perlu memperdebatkan telur dan ayam duluan mana," kata Pretty saat dihubungi Kompas.com, Kamis (19/5/2022).
Pretty mengatakan, sampai saat ini seluruh keluarga korban dan kalangan pegiat hak sipil menunggu niat baik pemerintah untuk menyelesaikan dugaan pelanggaran HAM dalam Tragedi Trisakti.
Selain itu, kata dia, semua masukan dan bahan untuk membawa perkara itu ke ranah pengadilan sudah di tangan pemerintah.
Pretty mengatakan, proses pendampingan dan upaya yang dilakukan oleh keluarga para korban untuk mencari keadilan bagi anggota keluarga mereka yang diduga menjadi korban pelanggaran HAM terus dilakukan. Bahkan desakan juga sudah disampaikan kepada semua lembaga negara mulai dari legislatif, eksekutif, sampai yudikatif.
"Bolanya benar-benar tinggal di pemerintah. Jadi pada dasarnya pemerintah bukannya enggak tahu harus melakukan apa, tapi enggak mau aja," kata Pretty.
(Penulis : Dian Erika Nugraheny | Editor : Bagus Santosa)
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.