PETA politik Indonesia sontak berubah setelah Partai Golkar, Partai Amanat Nasional (PAN), dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) menggaungkan pembentukan Koalisi Indonesia Bersatu (KIB). Adanya arahan Istana hingga persiapan menuju gelaran Pemilu Presiden (Pilpres) 2024 menjadi spekulasi yang banyak disebut sebagai alasan pembentukan koalisi itu.
Mereka yang berasumsi KIB representasi politik Istana, menyandarkan pada masih terbukanya kemungkinan melakukan amandemen UUD 1945 dengan hidden agenda mengubah Pasal 7 tentang masa jabatan presiden. Hal ini tidak terlepas dari pernyataan Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang lebih memilih menggunakan frasa “tunduk pada konstitusi” daripada tegas menolak wacana presiden tiga periode.
Sebab “tunduk pada konstitusi” berarti mengikuti apa yang tertulis dan diperintah dalam konstitusi. Jika konstitusi memperbolehkan presiden tiga periode, logika politiknya, Jokowi pun akan tunduk dan patuh.
Baca juga: Airlangga Sebut Koalisi Indonesia Bersatu Penuhi Syarat Ajukan Capres
Sementara bagi yang berspekulasi KIB sebagai perahu yang dipersiapkan Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto untuk kepentingan Pilpres 2024, sepertinya menafikan konstelasi politik saat ini. Airlangga belum menjadi calon presiden potensial sekalipun balihonya sudah terpasang di mana-mana.
Dukungan Airlangga terhadap penundaan pemilu dengan mewacanakan konsensus antar ketua-ketua umum partai, membuktikan hal itu. Jika “barang itu sudah jadi” tentu Airlangga akan bersikap sebaliknya. Terlebih, jika mau mengulik sedikit ke belakang, di mana posisi Airlangga tidaklah “baik-baik saja”. Bukan hanya di Golkar, tetapi juga di kabinet.
Wakil Ketua Umum Partai Golkar Nurdin Halid sempat membenarkan adanya gejolak internal untuk mengkudeta Airlangga dari kursi ketua umum (ketum). Sulit untuk menyebut lontaran itu sebagai gimmick karena taruhannya terlalu mahal.
Jangan abaikan, isu keretakan di tubuh Golkar bisa berimbas pada posisi tawar Airlangga terhadap koalisi pemerintah. Sangat mungkin ada pihak-pihak yang akan menyandera keretakan itu untuk memaksa Airlangga menjadi penabuh genderang kepentingan koalisi pro-penundaan pemilu seperti diasumsikan mereka yang melihat kehadiran KIB sebagai skenario Istana.
Jika Airlangga menolak, pihak eksternal tidak akan menyokong manakala benar-benar terjadi goncangan di tubuh Golkar. Atau yang paling parah, ikut menjadi pendorongnya.
Oleh karenanya, kita meyakini isu kudeta di tubuh Golkar murni letupan ketidakpuasan sejumlah kader atas dua hal. Pertama, keikutsertaan Airlangga dalam guliran wacana penundaan pemilu yang terbukti mendapat penolakan secara luas. Pemilih kritis akan menjadikan poin ini sebagai dasar pertimbangan dalam memberikan suara di Pemilu 2024. Kedua, Golkar seolah sudah di-fait accompli sebagai milik Airlangga sehingga mematikan kemungkinan aspirasi berbeda.
Sementara, dalam berbagai survei, elektabilitas Airlangga tidak juga beranjak dari kisaran satu persen. Jauh di bawah nama-nama yang tidak memiliki syarat dasar yakni partai politik, untuk mengikuti pilpres.
Baca juga: Pengamat Sebut Koalisi Indonesia Bersatu Bisa Bikin Masyarakat Tak Pilih Kucing Dalam Karung
Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanSegera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.