KOMPAS.com - Penangkapan ikan secara ilegal atau illegal fishing adalah kegiatan perikanan yang tidak sah atau kegiatan perikanan yang dilaksanakan bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perikanan.
Definisi ini tertuang dalam Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 37/Permen-KP/2017 tentang Standar Operasional Prosedur Penegakan Hukum Satuan Tugas Pemberantasan Penangkapan Ikan Secara Ilegal (Illegal Fishing).
Sebagai negara bahari yang sebagian besar wilayahnya terdiri dari laut, illegal fishing tentu menjadi salah satu ancaman yang dihadapi Indonesia.
Bukan hanya oleh nelayan lokal, aksi illegal fishing juga dilakukan kapal-kapal asing. Akibatnya, negara mengalami kerugian yang tidak sedikit.
Berikut ini beberapa kasus illegal fishing yang melibatkan kapal-kapal asing besar di Indonesia.
Baca juga: Illegal Fishing: Pengertian, Bentuk dan Aturan Hukumnya
Kapal MV Hai Fa ditangkap di perairan Wanam, Merauke, Papua, pada 26 Desember 2014, atas tuduhan pencurian ikan dan berlayar tanpa surat izin pemerintah.
Kapal tersebut juga sengaja mematikan Automatic Identification System (AIS), alat pengawasan yang seharusnya terpasang di kapal ikan yang beroperasi di perairan Indonesia.
Hasil dugaan curian dari kapal itu terdiri dari 800,658 ton ikan beku, 100,044 ton udang beku, serta 66 ton ikan hiu martil dan hiu koboi yang dilindungi dan dilarang untuk ditangkap dan diekspor ke luar negeri.
Kapal Hai Fa diduga sudah tujuh kali beraksi di Indonesia sehingga diperkirakan merugikan negara sebesar Rp 70 miliar.
Namun, kapal dengan bobot 3.830 GT tersebut telah dilepas. Hal ini berdasarkan vonis yang dijatuhkan majelis hakim PN Ambon pada 25 Maret 2015.
Dalam persidangan tersebut, hakim hanya menjatuhkan hukuman denda Rp 200 juta subsider enam bulan kurungan kepada nakhoda, Zhu Nian Le.
Ketua Majelis Hakim Matheus juga memerintahkan agar 800.658 kilogram ikan dan 100.044 kilogram udang milik PT Avona Mina Lestari yang disita dikembalikan.
Vonis hakim ini sempat menimbulkan polemik lantaran kapal tidak disita negara dan vonis ringan yang dijatuhkan.
Kapal Tangkap Ikan atau Fishing Vessel (FV) Viking ditangkap di perairan Tanjung Berakit, Kabupaten Bintan, Kepulauan Riau, 25 Februari 2016.
Kapal Viking telah tercatat sebagai pelaku illegal, unreported, and unregulated fishing (IUUF) oleh Komisi Konservasi Sumber Daya Hayati Laut Antartika (CCAMLR) dan menjadi buruan interpol.
Kapal berukuran 1.299 GT itu masuk ke Indonesia tanpa melaksanakan kewajiban pelaporan identitas dan data pelayaran. Bahkan, juga tidak memiliki Surat Izin Penangkapan Ikan (SIPI).
Dari kapal tersebut ditemukan tali jaring di atas kapal dengan panjang 71 kilometer dan jaring ikan jenis gillnet dasar atau liong bun sebanyak 7.980 unit dengan panjang masing-masing 50 meter atau total 399 kilometer.
Dari berbagai dokumen yang ditemukan, terungkap bahwa FV Viking memiliki keterkaitan dengan perusahaan perikanan di Spanyol dan ikan-ikan hasil tangkapan seringkali didaratkan di Thailand.
Kapal Viking juga diketahui berulang kali mengisi ulang logistik perkapalan dari Singapura dan melakukan perbaikan kapal di negara tersebut.
Nahkoda kapal, Juan Domingo Nelson dan teknisi mesin, Gonzales Cirilo Ramon, telah divonis bersalah dan dihukum membayar denda Rp2 milliar subsider empat bulan kurungan oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri (PN) Tanjung Pinang.
Kapal FV Viking pun telah ditenggelamkan di Pantai Timur Pangandaran, Jawa Barat, pada 14 Maret 2016.
Baca juga: Upaya Pemerintah Mengatasi Illegal Fishing
Kapal FV STS 50 yang melakukan kejahatan transnasional terorganisir (trans-national organized crime) dan menjadi buruan interpol berhasil ditangkap saat berada di perairan Aceh, 6 April 2018.
Kapal itu diduga akan mencuri ikan di perairan Aceh. Berdasarkan hasil pemeriksaan, kapal itu membawa 600 unit alat tangkap gillnet dengan panjang 50 meter per unit, sehingga total panjangnya mencapai 30 kilometer.
Nakhoda kapal, Matveev Aleksandr yang merupakan warga negara Rusia telah divonis bersalah oleh PN Sabang, Aceh, dan dijatuhi denda Rp 200 juta subsider empat bulan kurungan dan kapalnya dirampas negara.
Terdapat sejumlah pelanggaran yang dilakukan kapal berukuran 570 GT ini sehingga menjadikannya buruan interpol. Kapal tersebut juga tercatat sebagai pelaku IUUF oleh CCAMLR.
Kapal STS 50 berhasil melarikan diri dari China pada 2016 dan Mozambik pada 2017. Dari penyelidikan, penerima manfaat diketahui berasal dari Rusia dan mengendalikan STS 50 melalui kantor di Korea Selatan.
Referensi:
Mahmudah, Nunung. 2015. Illegal Fishing: Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di Wilayah Perairan Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.