Pupusnya poros Islam & prospek Ganjar Pranowo-Prabowo Subianto
Hadirnya Koalisi Indonesia Bersatu bisa pula menjadi sekoci “penyelamat” andaikan Ganjar Pranowo tidak mendapat tiket pencapresan dari partai yang dicintainya: PDIP.
Itu pun dengan catatan, Ganjar mau berlabuh ke lain hati dan Koalisi Indonesia Bersatu paham arti besarnya potensi Ganjar meraup suara di kalangan milenial dan loyalis Jokowi.
Harus diakui, loyalis Jokowi tidak akan 100 persen melabuhkan suaranya ke partai banteng, PDI-P.
Pascaselesainya masa jabatan dua periode Jokowi, para pendukung, relawan dan fans garis keras Jokowi diyakini akan melabuhkan suaranya untuk Ganjar Pranowo. Pemilih Jokowi beririsan dengan pemilih Ganjar.
Hadirnya Koalisi Indonesia Bersatu juga mengikis politik sektarian yang “menjual” identitas agama.
Adanya wacana menyatukan partai-partai berazas Islam seperti PKS, PPP, PKB dan PAN ke dalam poros yang sama, menjadi layu di tengah jalan.
Menggapai kekuasaan dan menapak jalan terjal kampanye, koalisi berazas agama hanya menyempitkan segmentasi pemilih serta semakin sulit meraup suara di era “tik-tok” yang semakin masif digenggam pemilih-pemilih milenial.
Jika mengikuti skenario politik dan perkembangan terkini, andai PDI-P tetap memanfaatkan previladge 128 kursi di DPR yang dimilikinya karena menjadi satu-satunya partai yang bisa “lenggang-kangkung” mengusung capres-cawapres sendiri dan “ogah” berkoalisi dengan partai lain, maka bisa jadi akan membuka peluang munculnya poros-poros lain.
Skenario lain, PDI-P akan menggandeng Ketua Umum Gerindra Prabowo Subianto untuk running di ajang President Idol 2024.
Dengan 78 kursi Gerindra di DPR, membuat sisa suara yang diperebutkan partai-partai lain menjadi semakin terbatas.
Mau tidak mau, partai-partai tersisa harus segera merapatkan barisannya agar kecukupan suara segera diamankan.
Menjadi dilema jika Demokrat tidak kunjung mendapat “pacar”, sementara ajang Pilpres 2024 menjadi momentum strategis bagi AHY untuk masuk dalam orbit kekuasaan atau tidak sama sekali. Demokrat hanya tinggal menyisahkan PKS sebagai “konco wiking” untuk berkoalisi.
Poros ketiga bisa saja terjadi jika Gerindra tidak sepaham dengan PDIP dalam hal posisi calon RI-1.
Tentu Prabowo tidak akan mau ditempatkan sebagai second man di belakang Puan Maharani. Padahal menyatukan dua kekuatan besar politik di Indonesia ini, sebetulnya cukup “klik” saja.
Faktor kesejarahan hubungan Megawati Soekarnoputri dengan Prabowo Subianto telah terjalin lama di Pilpres 2009.
Faktor “Megapro” tidak menyurutkan harmonisasi antara PDI-P dengan Gerindra walau di Pilpres 2014 dan 2019 memiliki catatan “bermusuhan” di antara relasi ke dua partai ini.
Menjadi “koalisi dream team” andai jalinan PDI-P dan Gerindra dilengkapi dengan PKB maka selesai sudah “permainan” Pilpres 2024.
Itu pun dengan catatan, andai-andai semua pihak legowo dengan menyorongkan nama Ganjar Pranowo – Prabowo Subianto sebagai capres-cawapres dan Cak Imin sebagai third man serta Puan tetap memegang kendali penuh di PDI-P andai Megawati Soekarnoputeri istirahat dari dunia politik.
Puan dan Cak Imin tentu saja mendapat akomodasi di kabinet serta menempatkan kader-kader yang di-endorse Gerindra, PKB dan PDI-P.
Prabowo dan Megawati saatnya memberikan kesempatan kepada anak muda untuk memegang tampuk kepemimpinan nasional seperti halnya saat keduanya memberikan kesempatan kepada Joko Widodo – Basuki Tjahaja Purnama maju Pilgub DKI Jakarta tahun 2012 silam.
Nama Prabowo akan dikenang sebagai lokomotif demokrasi Indonesia karena bersedia mengesampingkan ambisi lamanya yang terpendam untuk selalu maju di pentas Pilpres, dengan memberi kesempatan untuk anak muda menjadi presiden.
Sementara pengalaman dan kepiawaiannya dimaksimalkan sebagai “mentor” dan cukup menjadi wakil presiden saja.
Demikian pula Megawati akan semakin “harum” dikenang sebagai pendorong anak muda untuk berkesempatan tampil di pentas politik nasional.
Begitu banyak nama anak-anak muda diorbitkan sebagai pemimpin lokal yang berkualitas lalu “diterbangkan” ke panggung nasional.