JAKARTA, KOMPAS.com – Rencana penerapan kerja dari mana saja (work from anywhere) terhadap aparatur sipil negara (ASN) dianggap belum tepat dilaksanakan saat ini di Indonesia.
Pengamat kebijakan publik Universitas Indonesia, Lisman Manurung, menyoroti jaringan internet di Indonesia yang belum mumpuni, apalagi menjangkau seluruh pelosok negeri.
Hal ini menyebabkan kebijakan WFA tidak dapat diterapkan secara bersama-sama (interoperability) lintas kementerian dan lembaga serta pemerintah daerah.
“Ini sebenarnya kalau dilihat sekilas kelihatan simpel. Tapi enggak begitu, karena kalau disebut semua pegawai negeri bisa WFA, itu tentu akan berhubungan dengan berbagai hal. Di negara maju, Korea Selatan, misalnya, tidak masalah, karena mereka punya jaringan fiber optic sampai ke ujung-ujung negara mereka,” jelas Lisman ketika dihubungi Kompas.com, Jumat (13/5/2022).
Baca juga: BKN Ungkap Cara Mengukur Kinerja bila WFA ASN Direalisasi
Di samping itu, ada pula isu soal literasi digital, atau seberapa jauh generasi ASN melek digital.
Lisman memberi contoh, tak sedikit kantor-kantor pemerintah yang memiliki peralatan teknologi cukup canggih, namun penerapannya tetap manual.
Hal ini tak terlepas dari budaya digital yang belum tentu diterapkan oleh semua generasi yang saat ini menjadi ASN.
Lisman kembali memberi contoh, masih ada kalangan yang merasa tidak enak jika “tidak ngopi bareng” atau “rapat di tempat” untuk mendiskusikan sebuah pekerjaan atau proyek.
Padahal, inti dari penerapan WFA justru berkebalikan dari kultur tersebut.
“Ada yang sudah punya gaya hidup digital, tapi ada yang enggak. Artinya yang begini adalah sesuatu yang tidak kelihatan, tapi bisa membuat semua upaya ini menjadi terlalu besar untuk dilakukan sekarang,” jelas Lisman.
Baca juga: Serba-serbi WFA buat ASN, Mulai dari Gaji hingga Jabatannya
Di kantor-kantor di Jakarta, budaya digital boleh jadi sudah menjadi gaya hidup sebuah instansi, namun Indonesia bukan hanya Jakarta.
Ini salah satu sebab metode WFA tidak bisa disejajarkan antara perusahaan swasta dengan pemerintahan.
Selain itu, jika hendak menerapkan WFA secara serius, pemerintah sebagai pemberi hajat bertanggung jawab untuk memfasilitasi gawai bagi para ASN.
Alih-alih menjadi bentuk efisiensi, WFA justru dinilai menjadi celah terjadinya pemborosan anggaran.
Lisman meminta warga berkaca dari pengalaman soal KTP elektronik yang seakan-akan canggih secara teknologi, namun nyatanya masih konvensional dalam penerapannya.
“Ketika programnya tidak dimengerti siapa pun, semuanya akan korup. Beli alat, beli ini, beli itu, kita kan enggak tahu mereka beli apa,” kata Lisman.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.