Zulfikar melalaikan kewajibannya untuk mengumpulkan uang umat yang memang harus menyalurkan sebagian rezekinya untuk orang miskin yang berhak mendapatkan zakat.
Sementara mantan kades tidak sanggup menahan nafsu birahinya sehingga tidak bisa membedakan mana dana desa dan dana untuk peruntukkan penyamun.
Sedangkan pasangan suami istri berprofesi polisi yang “nyambi” menjadi garong tersebut, paham betul jabatan dan amanah yang diberikan atasan untuk mengelola dana yang masuk dari pungutan pengguna jasa, akan tetapi godaan menjadi ingin cepat kaya menjadi terbutakan.
Kegilaan yang tidak tahu malu juga dipertontokan Muhammad Farsha Kautsar, anak kandung terdakwa kasus dugaan korupsi di Direktorat Jenderal Pajak Wawan Ridwan.
Jika sang ayah rajin “memalak” wajib pajak dengan mengecilkan kewajiban pembayaran pajak sejumlah perusahaan tetapi ada setoran tunai sebagai balas jasanya, maka si anak “bertugas” menghambur-hamburkan uang pajak yang dikemplang bapaknya.
Bukannya masuk ke kas negara, uang tersebut justru mengalir ke kas Siwi Widi Purwanti mantan pramugari maskapai Garuda.
Alasan Siwi – yang sebelumnya pernah dikaitkan dengan mantan petinggi Garuda – mau menerima kiriman uang Rp 647,85 juta melalui 21 kali transfer dari Farsha sebagai teman dekat dan “biaya” ingin mencari perhatin (Kompas.com, 10/05/2022).
Sementara Farsha yang masih berkuliah, menganggap uang hampir Rp 9 miliar lebih di rekeningnya adalah hasil bisnis tukar menukar valas.
Padahal dari hasil penelusuran Komisi Pemberantasan Korupsi, uang tersebut merupakan aliran uang “panas” dari ayahnya yang mengakali wajib pajak.
Uang jajan bulanan Farsha yang diberikan ayahnya hanya Rp 5 juta, tetapi itu pun tidak terlacak di rekeningnya.
Mengikuti logika dan cerita pengakuan Farsha dan Siwi di persidangan, kita seperti sedang menertawakan akal sehat mereka.
Begitu mudahnya uang berpindah tangan tanpa ada rasa bersalah sedikitpun. Urat malu dan urat-urat yang lain, saya rasa sudah putus duluan.
Uang yang difoya-foyakan harusnya masuk ke kas negara dan untuk kesejahteraan rakyat kecil.
Bukan untuk kesejahteraan mantan pramugari atau untuk memenuhi gaya hedon anak pegawai pajak sialan.
Untuk efek jera ke depannya, jerat hukum harus mengenai juga “pelaku-pelaku” korupsi lain seperti Farsha dan Siwi.
Pura-pura tidak tahu, pura-pura “bego” dan merasa tidak innocent menjadi dalil umum dari penikmat korupsi yang ingin terkesan suci lahir dan bathin.
Bicara rasa tidak tahu malu, kini juga dipertontonkan oleh mereka yang ingin ngebet menjadi calon presiden walau kampanye belum mulai mengibarkan bendera start.
Tidak saja para kepala daerah yang akan habis masa jabatannya tetapi juga untuk pembantu-pembantu presiden saling berlomba menebar simpati untuk memikat rakyat.
Ada gubernur yang ketika mengunjungi suatu daerah, selalu mengaitkan silsilah keturunannya dengan daerah tersebut.
Dan ndilalah, sang gubernur ini juga pernah berkunjung ke daerah-daerah yang lain juga mengucapkan pernyataan serupa.
Kita semua jadi bingung, sebetulnya sang gubernur tersebut berasal dari daerah mana yang benar dan pastinya?
Lain waktu ada juga gubernur yang menentang dan mengecam tindakan-tindakan intoleransi yang ada di masyarakat, sementara di kampanye Pilkada-nya yang lalu justru sang gubernur ini begitu sarat dengan gaya-gaya kampanye yang intoleran.