Dalam hal Filipina, lanjut Adnan, kultur masyarakat yang berbasis klan juga menyuburkan primordialitas. Meski Indonesia tak sepenuhnya mirip terkait konteks ini, ada gelagat yang tetap perlu diantisipasi pula.
Oligarki di Indonesia, kata Adnan, juga adalah persoalan yang tak bisa dinafikan seperti halnya di Filipina. Orde Baru dengan Soeharto sebagai patron juga tak pernah benar-benar bakal bisa dihapus dari Indonesia.
Tidak dapat dimungkiri bahwa sejumlah politisi yang namanya masih berseliweran bahkan berada di pemerintahan hingga sekarang merupakan sosok yang lahir dan besar dari Orde Baru.
Baca juga: Kembalinya Dinasti Marcos di Filipina: Anugerah untuk China, Canggung bagi AS
Menurut Adnan, reformasi di Indonesia hanya mampu menyingkirkan Soeharto dari kekuasaan. Dalam struktur ekonomi politik, Orde Baru masih mengakar hingga sekarang.
"(Reformasi sejauh ini masih) gagal membangun struktur ekonomi politik yang lebih bersih, lebih demokratis. Para pemain politik dan ekonomi tidak banyak bergeser (dari Orde Baru)," ujar Adnan.
Belajar dari hasil Pemilu Presiden Filipina 2022, Adnan meminta para aktor politik lebih fokus memperkuat institusi demokrasi daripada "jualan" sosok atau figur.
"Kalau tidak begitu, demokrasi bisa menjadi ricuh. Kelihatan bagus tapi borok banyak," tegas dia.
Berkaca dari Filipina, ungkap Adnan, proses hukum atas rezim korup Marcos memang ada. Namun, keluarga penguasa Filipina tersebut tetap menikmati hasil korupsi, punya kekebalan hukum, dan Imelda Marcos pun masih menjadi idola bagi sebagian masyarakat.
Masih dari Pemilu Filipina 2022, strategi Marcos Jr yang menggandeng Sara Duterte juga patut dicermati. Yang ini terkait isu politik populisme, strategi yang lebih dulu digunakan ayah Sara untuk menduduki tampuk kekuasaan.
"Kasus Filipina ini memberikan pelajaran bahwa lagi-lagi yang dilihat masih individu dan calon, bukan kualitas dan kapasitas institusi politiknya," tegas Adnan.
Baca juga: Profil Ferdinand Marcos Jr, Anak Diktator yang Jadi Presiden Terpilih Filipina
Bagi Indonesia, kedua hal di atas juga terjadi dari waktu ke waktu. Terlebih lagi, Adnan melihat ada tren praktik korupsi yang kini berjalan lebih leluasa, lebih mudah, dan lebih berani, sebagai imbas kebijakan anti-korupsi yang sekadar pragmatis.
"Harus kita akui bahwa sistem antikorupsi tengah mengalami relaksasi," ujar Adnan.
Lalu, populisme dan arus disinformasi yang membanjiri media sosial pun terjadi di Indonesia. Kedua hal ini di Filipina bahu-membahu menegasikan fakta sejarah tentang kekejaman dan praktik korupsi yang terjadi selama rezim Marcos berkuasa.
"Belajar dari Filipina, kelompok masyarakat sipil dan kita semua harus cukup kuat untuk membangun counter narasi (atas arus disinformasi dan praktik politik populisme)," kata Adnan.
Di tengah PR besar membendung politik uang dalam kontestasi politik, tegas Adnan, pendidikan politik harus terus diperkuat. Rekam jejak para aktor dan catatan sejarah harus terus menjadi ingatan kolektif publik. Semangat menolak lupa harus terus dijaga dan dirawat.
Bongbong dalam kampanyenya tegas menolak mencela tindakan brutal dan koruptif keluarganya. Pengingkarannya ini mendapatkan angin dari penggunaan media sosial untuk mengembuskan disinformasi tentang rekam jejak keluarga Marcos.
Sekadar pengingat pula, mantan Ibu Negara, Imelda Marcos, pernah diasingkan pada 1986 lewat revolusi kekuatan rakyat.
Meski kemenangan Bongbong sudah dapat dipastikan dari hasil perhitungan sementara, penetapan hasil Pemilu Filipina 2022 dijadwalkan paling cepat terjadi pada 28 Mei 2022.
Di tengah gegap gempita kegembiraan pendukung Marcos Jr, kalangan lain di Filipina tengah berduka, terutama mereka yang pernah terlibat revolusi kekuatan rakyat.
"Akan ada lebih banyak kematian, akan ada lebih banyak utang, akan ada lebih banyak kelaparan. Keluarga Marcos akan mencuri," ujar Mae Paner, aktivis yang pernah menjadi bagian dari revolusi rakyat, seperti dikutip AFP.
Baca juga: Detik-detik Kejatuhan Diktator Filipina Ferdinand Marcos
Suara serupa muncul dari para aktivis hak, pemimpin gereja Katolik, dan komentator politik. Bonifacio Ilagan, yang pernah dua tahun dipenjara dan disiksa di masa darurat militer Marcos berpendapat hasil Pemilu Filipina 2022 ini menyesakkan.
"(Hasil pemilu ini) mengungkapkan sebegitu dalam tipu daya para penipu sejarah meresap ke dalam kesadaran orang Filipina," ujar Ilagan, seperti dikutip AFP.
Wakil Presiden petahana dan kompetitor Bongbong, Leni Robredo, menyatakan kekecewaan atas hasil pemilu tetapi berjanji akan tetap berjuang melawan pemerintahan yang buruk.
Di antara janji kampanye Lobredo adalah membersihkan gaya politik kotor yang sekian lama menunggangi demokrasi feodal dan korup dengan hanya segelintir nama keluarga memegang kendali.