Sepuluh jenis kekerasan itu diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) atau peraturan perundang-undangan lainnya, yakni:
- perkosaan;
- perbuatan cabul;
- persetubuhan terhadap anak, perbuatan cabul terhadap anak, dan/atau eksploitasi seksual terhadap anak;
- perbuatan melanggar kesusilaan yang bertentangan dengan kehendak korban;
- pornografi yang melibatkan anak atau pornografi yang secara eksplisit memuat kekerasan dan eksploitasi seksual;
- pemaksaan pelacuran;
- tindak pidana perdagangan orang yang ditujukan untuk eksploitasi seksual;
- kekerasan seksual dalam lingkup rumah tangga;
- tindak pidana pencucian uang yang tindak pidana asalnya merupakan tindak pidana kekerasan seksual; dan
- tindak pidana lain yang dinyatakan secara tegas sebagai tindak pidana kekerasan seksual sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.
Tak hanya pidana dan denda
Merujuk Pasal 16 UU, dijelaskan bahwa selain pidana penjara dan pidana denda, pelaku tindak pidana kekeradan seksual dapat dijatuhi pidana tambahan berupa:
- Pencabutan hak asuh anak atau pengampunan;
- Pengumuman identitas pelaku;
- Perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana; dan/atau
- Pembayaran restitusi;
Pidana dan denda korporasi
Selanjutnya, pada Pasal 18 dijelaskan, pihak korporasi yang melakukan TPKS dapat dikenai denda sekitar Rp 200 juta sampai Rp 2 miliar.
Selain itu, korporasi dapat dijatuhi pidana tambahan berupa:
- Perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana kekerasa seksual;
- Pencabutan izin tertentu;
- Pengumuman putusan pengadilan;
- Pelarangan permanen melakukan perbuatan tertentu;
- Pembekuan seluruh atau sebagian tempat usaha dan/atau kegiatan korporasi;
- Penutupan seluruh atau sebagian tempat usaha dan/atau kegiatan korporasi;
- Pembubaran korporasi.
Baca juga: Perempuan yang Nangis Histeris ke Jokowi itu Pedagang Ilegal, Selalu Melawan Saat Ditertibkan
Keterangan saksi/korban dan 1 alat bukti sudah cukup menentukan terdakwa
Pada Pasal 25 disebutkan bahwa keterangan saksi dan/atau korban tindak pidana kekerasan seksual cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah jika disertai 1 alat bukti sah.
Alat bukti yang sah dalam pembuktian TPKS yakni:
- Alat bukti sebagaimana diatur dalam hukum acara pidana;
- Alat bukti lain berupa informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan;
- Barang bukti yang berhubungan dengan tindak pidana;
- Keterangan saksi;
- Surat (surat keterangan psikolog/psikiater/dokter, rekam medis, hasil pemeriksaan forensik, hasil pemeriksaan rekening bank).
Restitusi bagi korban
Menurut UU TPKS, korban tindak pidana kekerasan seksual berhak mendapat restitusi. Restitusi adalah pembayaran ganti kerugian yang dibebankan kepada pelaku atau pihak ketiga berdasarkan penetapan atau putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap, atas kerugian materiel dan/atau imateriel yang diderita korban atau ahli warisnya.
Restitusi dapat diberikan dalam 4 bentuk, yakni:
- ganti kerugian atas kehilangan kekayaan atau penghasilan;
- ganti kerugian yang ditimbulkan akibat penderitaan yang berkaitan langsung sebagai akibat tindak pidana kekerasan seksual;
- penggantian biaya perawatan medis dan/atau psikologis; dan/atau
- ganti kerugian atas kerugian lain yang diderita korban sebagai akibat tindak pidana kekerasan seksual.
Restitusi diberikan paling lambat 30 hari terhitung sejak salinan putusan atau penetapan pengadilan diterima.
Hak-hak korban
UU TPKS juga mengatur hak-hak korban tindak pidana kekerasan seksual. Bahwa korban berhak atas penanganan, pelindungan, dan pemulihan sejak terjadinya tindak pidana kekerasan seksual.
"Pemenuhan hak korban merupakan kewajiban negara dan dilaksanakan sesuai dengan kondisi dan kebutuhan korban," bunyi Pasal 67 Ayat (2) UU TPKS.
Baca juga: Delik Perkosaan Dalam UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual
Menurut Pasal 68 UU TPKS, hak korban atas penanganan dijabarkan menjadi 7 bentuk, yakni:
hak atas informasi terhadap seluruh proses dan hasil penanganan, pelindungan, dan pemulihan;
- hak mendapatkan dokumen hasil penanganan;
- hak atas layanan hukum;
- hak atas penguatan psikologis;
- hak atas pelayanan kesehatan meliputi pemeriksaan, tindakan, dan perawatan medis;
- hak atas layanan dan fasilitas sesuai dengan kebutuhan khusus korban; dan
- hak atas penghapusan konten bermuatan seksual untuk kasus kekerasan seksual dengan media elektronik.
Kemudian, merujuk Pasal 69, hak korban atas pelindungan mencakup 7 hal, yaitu:
- penyediaan informasi mengenai hak dan fasilitas pelindungan;
- penyediaan akses terhadap informasi penyelenggaraan pelindungan;
- pelindungan dari ancaman atau kekerasan pelaku dan pihak lain serta berulangnya kekerasan;
- pelindungan atas kerahasiaan identitas;
- pelindungan dari sikap dan perilaku aparat penegak hukum yang merendahkan korban;
- pelindungan dari kehilangan pekerjaan, mutasi pekerjaan, pendidikan, atau akses politik; dan
- pelindungan korban dan/atau pelapor dari tuntutan pidana atau gugatan perdata atas tindak pidana kekerasan seksual yang telah dilaporkan.
Sementara, hak korban atas pemulihan dijabarkan dalam Pasal 70 Ayat (1), meliputi:
- rehabilitasi medis;
- rehabilitasi mental dan sosial;
- pemberdayaan sosial;
- restitusi dan/atau kompensasi; dan
- reintegrasi sosial.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.