JAKARTA, KOMPAS.com - Istilah Incumbent atau petahana kerap terdengar menjelang pemilihan kepala daerah (Pilkada) sampai pemilihan presiden dan wakil presiden (Pilpres).
Istilah itu mulai marak digunakan setelah Indonesia melakukan pemilihan kepala daerah dan pemilihan presiden secara langsung selepas berakhirnya masa Orde Baru yakni pada 1999.
Incumbent merupakan kata yang berasal dari bahasa Inggris. Dalam bahasa Indonesia, incumbent mempunyai padanan kata yakni petahana.
Baca juga: Profil Ketua Umum PKP, dari Edi Sudrajat hingga Yussuf Solichien
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia daring, arti petahana adalah pemegang suatu jabatan politik tertentu (yang sedang atau masih menjabat).
Menurut penjelasan di situs rumahpemilu, istilah incumbent seringkali salah dimaknai sebagai kepala daerah atau presiden yang mencalonkan di pemilu. Padahal tanpa mencalonkan pun presiden, kepala daerah, dewan, adalah incumbent/petahana.
Dalam konteks Pilpres, incumbent berarti orang yang sedang memegang jabatan, yakni kepala daerah seperti gubernur, wali kota, atau bupati serta presiden atau wakil presiden, ikut dalam pemilihan agar terpilih kembali dalam jabatan itu.
Petahana kerap mengikuti pemilihan walaupun mereka berbeda pasangan. Misalnya calon presiden A yang merupakan petahana berpasangan dengan calon wakil presiden B dalam pilpres 2024.
Baca juga: Profil Ketua Umum Partai Bulan Bintang, dari Yusril Ihza Mahendra hingga MS Kaban
Dengan kata lain, sang calon maju kembali dengan calon wakil presiden yang berbeda untuk memperebutkan jabatan itu.
Calon petahana atau incumbent dinilai lebih diuntungkan dibandingkan kandidat lain atau pesaingnya.
Penyebabnya adalah selagi mengikuti Pilpres, mereka juga masih memerintah dan mempunyai kekuasaan serta memiliki jaringan pribadi yang kuat.
Selain itu, incumbent juga sudah membangun relasi politik lebih awal ke berbagai organisasi maupun masyarakat selama berkuasa. Maka dari itu, jika diakumulasi, maka petahana memmiliki modal politik lebih unggul dibandingkan kandidat lainya.
Indonesia baru mengenal incumbent dalam konteks Pilkada mulai 2010.
Landasan hukumnya adalah Pasal 70 ayat 3 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016. Isinya menyebutkan bahwa gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, wali kota dan wakil wali kota yang mencalonkan kembali pada daerah yang sama tidak harus mundur dari jabatannya.
Baca juga: Daftar 5 Anggota Bawaslu Terpilih Periode 2022-2027, Ada Satu Petahana
Mereka hanya perlu cuti dalam masa kampanye dan dilarang menggunakan fasilitas yang terkait dengan jabatannya.
Meskipun banyak kritikan karena dianggap bias demokratis, tetapi pola Pilkada dan Pilpres di Indonesia masih menganut incumbent.
Sumber: Rumah Pemilu
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.