Sebuah organisasi adhokrasi – misalnya, Dewan Riset Nasional (DRN) - secara organik akan bubar, atau dibubarkan, (1) jika misinya telah tercapai, atau (2) jika telah ada lembaga birokrasi yang menangani fungsi lembaga adhokrasi itu (misalnya, Badan Riset dan Inovasi Nasional/BRIN), atau (3) jika mulai menjadi kompetitor organisasi birokrasi.
Dalam konteks organisasi profesi di tingkat nasional, apakah eksistensi organisasi adhokrasi mendesak?
Adhokrasi berimplikasi bahwa organisasi profesi pada tingkat nasional tidak tunggal, melainkan jamak.
Dapat saja adhokrasi benar-benar mendesak - atau juga dicitrakan urgen, jika dapat ditunjukkan bahwa ada masalah-masalah pada tingkat nasional yang membutuhkan pendekatan organisasi keprofesian yang bersifat sangat unik, dinamis, inovatif, bahkan eksperimentatif, melampaui sekat-sekat spesialisasi keahlian.
Ambil contoh, dalam disiplin psikologi, setelah Perang Dunia Pertama, sebagian anggota American Psychological Association (APA) yang memandang identitas dirinya lebih sebagai akademisi psikologi (atau psikolog akademik) daripada psikolog profesi melihat bahwa kebutuhan nasional akan pengembangan psikologi sebagai sains mengalami hambatan karena birokrasi APA tampak semakin mengedepankan orientasi praktik profesi dan meninggalkan kiblat keilmuan.
Mereka membentuk Assembly of Scientific and Applied Psychologists (ASAP) - sebagai sub-organisasi adhokrasi dari APA - namun akhirnya memisahkan diri dari APA dan membentuk American Psychological Society (APS).
Nama ini dianggap tidak unik dan mengesankan sebagai duplikat dari APA, sehingga APS mengubah nama menjadi Association for Psychological Science, dan mengembangkan birokrasinya sendiri.
Anomi pun muncul. Dengan adanya dua organisasi profesi psikologi (APS dan APA), psikologi ilmiah (scientific psychology) seolah terpilah dari psikologi profesi (professional psychology) dan tidak memiliki payung norma secara administrasi publik.
Di sinilah titik kritis dari adhokrasi. Ketika adhokrasi kehilangan rentang kendalinya terhadap rantai proses dan prosedur (dalam contoh di atas: dari keilmuan ke profesi, dan sebaliknya, dari profesi ke keilmuan) yang biasanya terdapat dalam organisasi birokrasi, maka keselamatan publik menjadi taruhannya.
Di sini kita bisa memahami argumen Mahkamah Konstitusi ketika memutuskan Ikatan Dokter Indonesia sebagai organisasi profesi kedokteran tunggal, yaitu bahwa "Jika ada lebih dari satu organisasi profesi kedokteran, justru dikhawatirkan akan membuat keselamatan masyarakat terpecah belah."
Keragaman dan spontanitas diferensiasi internal - dengan terbentuknya sub-sub kelompok minat - merupakan keniscayaan dalam organisasi profesi manapun.
Di sinilah kultur organisasi adhokrasi dapat diakomodasikan dalam organisasi profesi, dan organisasi profesi menjadi "jamak".
Tanpa kultur tersebut, organisasi profesi dewasa ini akan menjadi stagnan, terjebak dalam rutinitas, dan sulit membuat berbagai pembaruan organisasional yang bersifat adaptif bagi pertumbuhan organisasi profesi.
Kendati demikian, organisasi profesi yang "jamak" tidak selalu bermakna harus ada lebih dari satu organisasi profesi yang memiliki birokrasi masing-masing serta saling memisahkan (baca: mengeksklusifkan) diri.
Jika ada banyak organisasi profesi yang birokratis dalam satu disiplin atau bidang ilmu, maka misi adhokrasi - yaitu menyelesaikan problematika kompleks yang membutuhkan derajat tinggi dari kultur egaliter, informal, tak rigid, kreatif, serta lintas-spesialisme - justru tidak akan efektif, malahan terintangi.