Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Heryadi Silvianto
Dosen FIKOM UMN

Pengajar di FIKOM Universitas Multimedia Nusantara (UMN) dan praktisi kehumasan.

Atas Nama WTP, Menggapai Reputasi dengan Korupsi

Kompas.com - 08/05/2022, 09:03 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

KOMISI Pemberantasan Korupsi (KPK) melakukan operasi tangkap tangan Bupati Bogor Ade Yasin dan beberapa pihak dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Perwakilan Jawa Barat.

Kasus ini menjadi lebih ironi, apa yang terjadi pada Ade Yasin seakan peristiwa ‘dejavu’ jejak kakaknya Rahmat Yasin dalam jabatan yang sama berujung ditangkap KPK.

Pun juga dengan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) kasus korupsi seperti ini pernah terjadi di tahun 2017, kala KPK melakukan Operasi Tangkap Tangan (OTT) terhadap pegawainya dan Pejabat Inspektorat Jenderal (Irjen) Kementerian Desa (Kemendes).

Hal ihwal, OTT itu terkait pengurusan predikat Wajar Tanpa Pengecualian (WTP).

Karenanya dalam sejumlah kesempatan masih ditemukan situasi anomali meski gelar WTP ‘disabet’ Pemerintahan daerah, kementerian/lembaga, namun ternyata masih terjadi korupsi dan skandal keuangan di dalamnya.

Dalam dimensi yang lain namun tetap dalam cita rasa yang sama, Wali Kota Bekasi saat dijabat Mochtar Mohammad diduga telah memerintahkan pemberian uang kepada pihak Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) untuk memenangkan piala Adipura.

Adipura, diberikan dalam upaya mendorong setiap kota/kabupaten maupun provinsi untuk memperbaiki kualitas lingkungan seperti yang ada dalam UU 23/1997 tentang Pengelolaan Lingkungan.

Dalam UU tersebut menyebutkan adanya reward bagi yang lingkungannya baik.

Dari peristiwa di atas ternyata sejumlah kementerian, lembaga dan pemerintah daerah belum banyak belajar atas apa yang menimpa organisasinya di masa lalu, gagal menghadirkan kepemimpinan yang bersih didukung dengan tata kelola yang terstruktur dan akuntabel.

Kemudian juga gagal karena telah menempatkan reputasi sebagai komoditas yang bisa diperjualbelikan, bukan sebagai aset yang tidak nyata (intangible asset) dan sangat berharga dalam membangun persepsi publik yang positif terhadap organisasi.

Baca juga: KPK Tangkap Tangan Bupati Bogor Ade Yasin

Peristiwa penangkapan ini tentu saja membuat kita prihatin dan mengelus dada, karena target menggapai sesuatu yang baik namun ditempuh dengan cara yang tidak elok. Ibarat menggapai juara kelas dengan mencontek dan berlaku curang.

Hulu gagasan dan implementasi hilir terjadi ketidakselarasan atau dis-koneksi. Hal ini terjadi karena budaya serta nilai organisasi tidak diadopsi oleh aparatur untuk menghasilkan reputasi yang positif hingga pada akhirnya harus berujung pada kekecewaan masyarakat.

Dari gambaran di atas, kita patut menduga sejak awal banyak pemerintah daerah menargetkan WTP bukan semata menghadirkan good and clean government, namun jauh di ujungnya berorientasi pada akses anggaran (budget orientation) seperti Dana Alokasi Khusus (DAK) dan Dana Alokasi Umum (DAU) yang lebih besar.

Baca juga: 10 Kepala Daerah Tersangka Korupsi Dapat Opini WTP dari BPK

Tidak cukup sampai di situ, bahkan seringkali pencapaian WTP digadang-gadang sebagai kampanye politik dengan harapan dapat meningkatkan reputasi kandidat tertentu.

Reputasi berbasis korupsi

Sejatinya reputasi adalah hal rapuh (fragile) yang tidak bisa menoleransi kesalahan. Terlebih saat ini ketika teknologi informasi komunikasi (ICT) mendorong pesan diproduksi jauh lebih cepat dan massif, ‘cela’ sedikit akan menjadi berita hingga tersebar luas (viral).

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com