Bupati Ade Yasin berkilah dirinya menjadi korban IMB alias inisiatif membawa bencana. Jelasnya lagi, inisiatif pemberian suap datang dari anak buahnya tetapi yang dipaksa bertanggungjawab adalah bupatinya.
Dari logika transaksional yang lumrah terjadi, datangnya inisiatif tidak melulu datang dari salah satu pihak. Galibnya kedua belah pihak sama-sama berinisiatif serta aktif, baik yang menawarkan jasa atau barang serta pihak yang akan memanfaatkan jasa atau barang tersebut.
Publik mungkin masih ingat dengan kasus suap pejabat di BPK dari pejabat Kementerian Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (PDTT) yang pernah dibongkar KPK tahun 2017. Ketika itu, para pejabat di Kementerian PDTT berharap mendapat pemberian opini WTP dan bersedia “melepas” commitment fee sebesar Rp 240 juta ditambah Rp 1,145 miliar serta “printilan” tiga ribu dolar AS.
Tidak tanggung-tanggung, oknum BPK yang menjadi calo jual beli status WTP adalah audiotor dan “bos-nya” adalah pejabat eselon I BPK (Kompas.com, 27/05/2022).
Baca juga: FITRA: Opini WTP Sarat Celah Korupsi dan Kongkalikong
Prinsip “Lu Jual Gua Beli” dalam pengalaman saya yang kerap berinteraksi dengan sejumlah kepala daerah di daerah-daerah, memang benar adanya dengan predikat WTP yang bertarif. Sekitar empat tahun yang lalu, status WTP untuk level kabupaten bernominal Rp 600 juta.
Sekali lagi, ada demand tentu ada supply. WTP yang diperjualbelikan oknum BPK, tentu datang akibat ada kebutuhan “pengakuan” dari kepala daerah serta ada penawaran untuk peluang bagi proses penerbitan WTP.
Karena itu jangan heran, usai mendapatkan status WTP maka dinas komunikasi informasi di daerah-daerah akan segera memasang spanduk raihan “prestasi” status WTP. Lengkap dengan foto bupati, walikota atau gubernur.
Jika yang terpasang foto tunggal kepala daerah, dapat dipastikan hubungan dengan wakil kepala daerahnya sedang tidak harmonis. Tetapi apabila spanduk yang terpasang lengkap dengan foto dwi-tunggal kepemimpinan daerah, maka terindikasi hubungan kepala dan wakilnya sedang akur.
Selain ramainya iklan ucapan selamat atas raihan status WTP di media-media, dinas-dinas yang lain di luar dinas komunikasi informasi di daerah-daerah, juga tidak kalah gegap gempitanya mengucapkan selamat atas raihan status WTP. Mirip dengan pertunjukan topeng monyet di kampung-kampung, sesama pemainnya saling sorak menyoraki.
Ironis memang, sandiwara lelucon WTP kerap kita jumpai jika kerap “piknik” ke daerah-daerah. Festival spanduk ucapan WTP menjadi euforia di republik yang gila hormat.
Seolah-olah predikat status WTP adalah kebanggaan dan pengakuan akan pengelolaan pemerintahan yang akuntabel dan bebas dari korupsi. Pesan ini harus ditangkap oleh publik dan menjadi sinyal positif akan pencitraan yang baik dari kepala daerah.
WTP sendiri diberikan BPK sebagai pemberian opini atas hasil pemeriksaan laporan keuangan daerah sesuai dengan Standar Akuntasi Pemerintahan (SAP). Harus diakui, kelemahan penyusunan laporan keuangan baik di daerah-daerah ataupun kementerian lebih dikarenakan keterbatasan sumber daya manusia yang paham akuntasi pemerintahan.
Belum lagi, ketidakcermatan sistem pengendalian internal menjadi kendala tersendiri. Khusus untuk daerah, adanya tarik menarik kepentingan politik eksekutif dan legeslatif juga kerap menabrak aturan-aturan yang ada. Padahal semua laporan keuangan harus tetap disajikan secara akuntabel. Dilema inilah yang ikut “mengundang” fenomena jual beli pemberian opini status WTP.
Lebih “ambyarnya” lagi, beberapa kepala daerah yang daerahnya kerap mendapat status WTP justru berakhir dengan penyematan rompi oranye dari KPK alias bermasalah untuk urusan pat gulipat duit haram.
Data Indonesia Corruption Watch (ICW) tahun 2018 saja, ada 10 kepala daerah penerima opini WTP yang ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK. Artinya WTP tidak menjamin seorang kepala daerah bersih dari korupsi. Ke-10 penerima WTP tetapi kepala daerahnya nggragas alias kemaruk fulus antara lain; Bupati Purbalingga Tasdi, Bupati Kutai Kartanegara Rita Widyasari, Bupati Bangkalan Fuad Amin, Bupati Tulungagung Syahri Mulyo, Bupati Cianjur Irvan Rivano Muchtar, Walikota Tegal Ikmal Jaya, Walikota Blitar Samanhudi Anwar, Gubernur Sumatera Utara Gatot Pujo Nugroho, serta dua Gubernur Riau masing-masing Rusli Zainal dan Annas Maamun, (Merdeka.com, 16 Desember 2018).