MENGELOLA Indonesia yang majemuk, rasa-rasanya membutuhkan mukjizat. Sebab, peluang terbelah seperti menjadi celah melebar dari waktu ke waktu. Luas geografis sulit dicari bandingannya dengan negara lain. Keragaman ekstrem baik agama, bahasa, tradisi, dan akar budaya tersedia berlimpah di Indonesia.
Perbedaan pandangan yang diikuti kesenjangan latar pendidikan kerap menjadi pemantik kegaduhan dibandingkan berkah bagi ruang publik. Apalagi dengan digitalisasi di semua aspek, turut memperdalam dan memperluas jangkauan konflik.
Dengan kata lain, kondisi-kondisi sosio-psikis untuk retak sebagai bangsa lebih terbuka dibandingkan solidaritas dan persatuan. Rasa-rasanya sampah seteru "kampret" dan "kadrun" sisa kerasnya Pilpres 2019 masih berbayang hingga saat ini. Seolah-olah masuknya Prabowo Subianto pada kabinet pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) tidak berdampak apapun.
Baca juga: Masyarakat Multikultural: Pengertian dan Ciri-ciri
Dalam suasana mendung seperti itu, sepertinya, merefleksi pikiran filsuf Jurgen Habermas menjadi menarik untuk dijadikan alat teropong dan alternatif untuk merajut multikultural Indonesia sebagai vitamin perekat sebagai bangsa. Bukan sebaliknya.
Juergen Habermas merupakan filsuf tokoh marxisme Barat, generasi kedua Frankfurter Schole, pendiri lembaga penelitian sosial di Goethe Universitaet. Habermas meyakini bahwa masyarakat multikultural memerlukan komunikasi sebagai faktor integratif masyarakat kompleks.
Komunikasi, atau lebih tepatnya rasio komunikatif, bekerja dalam setiap aktor sosial sebagai organizing principle dalam masyarakat kompleks. Dalam konteks ini, Habermas melihat hukum sebagai sabuk pengaman terakhir bagi integritas sosial.
Baca juga: Juergen Habermas di Usia 90 Tahun: Pemikir Kritis yang Pantang Diam
Hukum dalam konteks teori komunikasinya Habermas dapat menjadi engsel penghubung antara negara dan pasar di satu pihak, dan masyarakat luas di lain pihak. Bagi Habermas, ada dua manfaat ganda dari hukum. Di satu sisi, hukum membuka ruang bagi tindakan-tindakan strategis sehingga hukum dapat dipakai alat pemaksa. Di sisi lain, hukum itu harus dihasilkan dari konsensus rasional (harus legitimate).
Dengan kata lain, hukum menjembatani antara tindakan strategis dan tindakan komunikatif. Inilah yang kemudian ditempatkan dalam paradigma besar demokrasi deliberatif, sebagai bentuk gagasan Habermas untuk meningkatkan mutu demokrasi sekaligus hukum secara serempak (F Budi Hardiman, Filsafat Fragmentaris, 2007).
Secara lebih mendalam, sebenarnya, Habermas tidak sedang menuliskan teori demokrasi baru. Dia meradikalkan konsep demokrasi yang ada. Bagi Habermas, demokrasi deliberatif hendak mengusung peningkatan intensitas partisipasi warga negara dalam pembentukan aspirasi dan opini agar kebijakan-kebijakan dan undang-undang yang dihasilkan pihak yang memerintah semakin mendekati harapan pihak yang diperintah. Atau dengan kata lain, dimensi-dimensi legal harus dibarengi pula dimensi legitimasi.
Dalam kasus kekinian di Indonesia, gagasan Habermas seakan mendapat momentum manakala banyak kritik atas pembentukan undang-undang yang kerap kurang mengakomodasi optimalisasi partisipasi publik. Hal ini diafirmasi, salah satunya, oleh putusan Mahkamah Konstitusi (MK) dalam uji formal UU Cipta Kerja, yang salah satu pertimbangan pembatalan bersyarat dari UU Cipta Kerja itu adalah karena absennya unsur partisipasi masyarakat yang bermakna (meaningful participation) dalam pembentukan UU Cipta Kerja.
Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanSegera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.