Bu, jelang azan magrib tadi
tanpa sengaja aku mencium aroma sambal terasi yang persis seperti bikinanmu
Aku pun segera menghentikan laju motorku dan singgah ke warteg yang teramat sederhana itu
Dan tebak, apa yang aku temukan, Bu?
Terong balado, ati ampela, dan teri kacang yang dulu selalu kau bikinkan dan selalu aku habiskan sendiri
Setelah melafalkan doa aku pun segera berbuka
Dan tak kuduga air mataku menetes di suapan pertama
Dalam derai air mata itu, batinku berkata: Inilah rasa yang selalu kurindukan selama merantau di kota
Rasa yang mengingatkanku pada omelanmu tiap kali aku nakal
Rasa yang mengingatkanku pada baluran minyak dan bawang merahmu tiap kali aku sakit
Dan rasa yang mengingatkanku pada bisik doamu yang tak sengaja pernah kudengar
Singkatnya, Bu, aku rindu
Tapi maaf aku tak pulang Lebaran ini
Alasannya tentu telah ibu mengerti
Bu, ketika aku sibuk menghapus air mata tiba-tiba ada seseorang yang menyodorkan tisu Seorang gadis yang parasnya persis seperti foto masa lalumu
Dia anak pemilik warteg itu, Bu
Dan selama tidak pulang ini nampaknya aku akan sibuk membujuknya agar mau calon menantumu
Puisi tentang kerinduaan yang sangat akan mudik, begitu rancak ditulis oleh Norman Adi Satria.
Puisi berjudul “Maaf, Lebaran Kali Ini Aku Tak Pulang” mengkisahkan tentang kerinduan para perantau di kota-kota besar – tempat mencari nafkah dan tempat mengejar cita-cita – yang tidak bisa mudik karena satu atau berbagai alasan.
Mudik tahun ini begitu terasa istimewa karena selama dua tahun sebelumnya, mudik sangatlah muskil dilakukan karena pageblug Covid-19 yang merajalela.
Bisa lolos dari kematian akibat pageblug adalah sebuah anugerah yang harus disyukuri dan dibalaskan dengan berjumpa orang-orang terkasih di kampung halaman.
Para “pejuang rindu” begitu mendamba bisa berkumpul dengan orang-orang yang dirindukan di kampung halaman.
Para pemudik tahun 2022 ini sangat pas jika disebut sebagai pejuang rindu. Kabar keberadaan keluarga, sanak dan kerabat di kampung halaman selama dua tahun negeri ini dilanda wabah, begitu dirindu.
Pemerintah melalui Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Panjaitan menyebut ada sekitar 80 juta orang yang melakukan perjalanan mudik di momentum Idul Fitri tahun ini, setelah dua tahun dilakukan pembatasan karena situasi pandemi yang mengkhawatirkan (Kompas.com, 02/05/2022).
Sulit membayangkan pola pengaturan pergerakan dan lalu lintas orang dan kendaraan selama mudik tahun ini.
Bayangkan 80 juta “pejuang rindu” harus berjibaku mengalami kemacetan berjam-jam dan perjalan panjang hingga tiba di kampung halaman.
Andaikan diibaratkan seperti rotasi dan dropping pasukan militer, entah berapa divisi dan batalion tentara diatur sedemikian agar pergerakan lintasan dari satu daerah ke daerah lain tidak “terkunci” di simpul-simpul kemacetan.
Butuh penyediaan personel yang mengatur kelancaran pergerakan mobilisasi, disiapkan personel yang menjaga keamanan dan ketertiban, penyiapan tim kesehatan, penyediaan bahan bakar kendaraan di sepanjang lintasan peta mudik.
Sudah mirip gelar pasukan sekutu di film perang “Pendaratan Normandia” atau “Operasi Market Garden” di teater Perang Dunia II.
Dengan jumlah pejuang rindu yang mudik tahun ini tembus 80 juta jiwa, identik dengan pergerakan “wira-wiri” serentak hampir tiga kali lipat – bahkan lebih - keseluruhan penduduk Benua Australia.
Penduduk Benua Australia pada 2022 berjumlah 25.499.884 jiwa (sumber : oriflameid.com)
Butuh kesabaran dan ekstra waktu untuk menjalani “prosesi” dan “ritual” mudik dari tempat perantauan ke kampung halaman.
Hanya saja “kesabaran” para pejuang rindu kerap “dimanfaatkan” maskapai, pengusaha bus dan jasa transportasi untuk menaikkan tarif tiket yang “ugal-ugalan”.
Keluhan Gubernur Aceh Nova Iriansyah soal mahalnya harga tiket pesawat terbang dari dan ke Banda Aceh hingga tembus Rp 9,6 juta untuk penerbangan Jakarta – Banda Aceh adalah sungguh wajar.
Harga tiket normal untuk penerbangan Jakarta – Banda Aceh biasanya Rp 2,6 juta.
Tidak salah jika Gubernur Nova melayangkan protes ke berbagai maskapai bahkan menyurati Presiden Joko Widodo (Kompas.com, 28/04/2022).
Usai dua tahun perekonomian warga babak belur dihajar pageblug, untuk mudik tahun ini memang cukup berat.
Tingkat pendapatan masyarakat masih kembang kempis. Istilahnya: “salary not up-up”. Yang berusaha di sektor swasta, sedang menata diri karena usaha mulai bangkit.
Yang terkena pemutusan hubungan kerja (PHK) masih ke sana ke mari mencari lowongan pekerjaan.
Sementara kestabilan pendapatan hanya ditangguk oleh pegawai negeri sipil, walau mereka pun kerap mengeluh dengan keterbatasan perjalanan dinas dan minim mendapat cipratan “proyek” karena refocusing anggaran kementerian dan lembaga negara.
Bukankah mengucapkan rindu lewat whatsapp atau mengirim lewat transfer kini semudah menggerakkan jari saja? Kenapa harus bersusah payah dan berisiko?
Tersebutlah Alifatul Rohmah (27) seorang pemudik dari Banjarmasin. Untuk sampai ke kampung halamanya di Bangkalan, Madura, pekerja di sebuah rumah makan di ibu kota Kalimantan Selatan itu rela selama 24 jam menempuh perjalanan dengan kapal laut agar tiba di Surabaya.
Dari Surabaya, dia masih harus menghabiskan 3 jam perjalanan lagi melintas Jembatan Suramadu (Kompas.com, 01/05/2022).
Alifatul harus pulang karena selama dua tahun tidak bisa mudik karena wabah corona tengah mengganas.
Dia rindu dengan surganya, dengan sosok ibunya. Bagi Alifatul, ibu adalah manusia yang terkeramat sedunia.
“Ibarat cas baterai, sekarang saya mudik untuk ngecas baterai. Saya jelas akan bertemu dengan surga. Surga itu betul-betul berada di kaki ibu,” ungkap Alifatul.
Selain kangen dengan emaknya, Alifatul begitu merindu dengan olahan kerupuk udang sangrai khas Kwanyar, Bangkalan masakan ibunya.
Lain cerita Alifatul, lain pula kisah Agus Salim dari Bantargebang, Bekasi, Jawa Barat. Jelang akhir puasa Ramadhan, Agus Salim sengaja berangkat dari Bekasi hari Jumat (29/4/2022) pukul 19.00 WIB.
Dengan tujuan mudik ke Palembang, Sumatera Selatan, Agus pada hari Sabtu (30/4/2022) sekitar pukul 11.30 WIB masih tertahan di Pelabuhan Merak, Banten.
Artinya butuh 11 jam perjalanan dari Bekasi hingga mulut Pelabuhan Merak. Padahal hari normal, hanyah butuh waktu maksimal 3 jam perjalanan (Jawapos.com, 4 Mei 2022).
Imbas pengaturan lalu lintas untuk memperlancar arus mudik dengan penerapan one way dan contra flow tak urung menghambat perjalanan “pejuang rindu” dari Bandung, Jawa Barat ke arah Jakarta.
Mereka harus tertahan selama 6 jam akibat macet “horor” di Tol Cipularang pada hari Jumat (29/4/2022).
Kendaraan mulai tidak bergerak sama sekali sejak di KM 70. Banyak “pejuang rindu” yang membatalkan penerbangannya via Bandara Soekarno Hatta imbas karena macet di jalan Tol Cipularang (Cnnindonesia.com, 29 April 2022).
Kronik perjuangan pejuang rindu tidak selalu berliput suka, sepasang suami istri pemudik dari Bandung, Jawa Barat meregang nyawa karena kendaraan yang ditumpanginya disambar Kereta Api Penataran yang melintas di perlintasan sebidang tanpa palang pintu pengaman di Pasirharjo, Talun, Blitar, Jawa Timur.
Kedua pejuang rindu berstatus pegawai PT Kereta API Indonesia (KAI) mininggalkan bocah semata wayang yang terluka berat (Kompas.com, 30/04/2022)
Sementara itu, bus yang membawa 32 pejuang rindu yang tengah mudik dari Solok menuju Padang mengalami kecelakaan di Kelok PU Jalan Raya Solok – Padang, Lubuk Kilangan, Sumatera Barat pada hari Senin (2/5/2022).
Sopir yang tidak menguasai lekuk-lekuk jalanan menjadi penyebab tergulingnya bis tersebut. Akibatnya dua pemudik meninggal di lokasi (Kompas.com, 02/05/2022).
Kerinduan akan keluarga, sanak dan kerabat serta kampung halaman memang sulit untuk disetarakan dengan nominal angka-angka logik. Sulit untuk dinarasikan karena penuh dengan keabstrakan.
Perjalanan mudik ke kampung halaman tidak sekadar “berlelah-lelah” di perjalanan dan “menghamburkan” jerih payah yang telah lama dikumpulkan dengan susah.
Mudik adalah ritual yang selalu berulang karena sejatinya setiap manusia ingin menapaktilasi perjalanan hidupnya.
Perjalanan balik pun dengan susah payah kembali harus ditempuh demi bisa mencari rezeki. Agar tahun depan bisa mudik (kembali).
Kasih sayangmu membekas
Redam kini sudah pijar istimewa
Entah apa maksud dunia
Tentang ujung cerita, kita tak bersama
Semoga rindu ini menghilang
Konon katanya waktu sembuhkan
Akan adakah lagi yang sepertimu?
Kukira kita akan bersama
Begitu banyak yang sama
Latarmu dan latarku
Kukira takkan ada kendala
Kukira ini 'kan mudah
Kau-aku jadi kita
Kau melanjutkan perjalananmu
Ku melanjutkan perjalananku
Semoga tembangnya Tulus yang berjudul “Hati-Hati Di Jalan” bisa menjadi teman di perjalanan arus balik. Para pejuang rindu, hati-hati di jalan.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.