JAKARTA, KOMPAS.com - Tim Advokasi Anti Penyiksaan (TAP) akan melakukan upaya banding atas vonis empat pemuda dalam kasus begal salah tangkap di Tambelang, Kabupaten Bekasi.
Sebelumnya, tim mengecam keras dan menyesalkan putusan majelis hakim Pengadilan Negeri Cikarang yang menjatuhkan pidana 10 bulan penjara kepada terdakwa Abdul Rohman, dan 9 bulan penjara kepada terdakwa M Fikry, M Rizky, dan Randi Apriyanto.
“Sudah resmi akan banding. Kemarin kami sudah nyatakan ke PN,” kata perwakilan TAP dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Teo Reffelsen, kepada Kompas.com pada Jumat (29/4/2022).
“Setelah Lebaran kami akan masukkan memori bandingnya,” imbuh dia.
Teo menyatakan, ada beberapa alasan terkait substansi persidangan yang membuat mereka yakin akan mengajukan banding.
TAP menilai majelis hakim keliru dalam menjatuhkan vonis dan mengabaikan fakta-fakta persidangan yang jelas menunjukkan bahwa Fikry cs tidak bersalah karena tidak berada di tempat ketika pembegalan terjadi pada 24 Juli 2021 dini hari.
Pertama, majelis hakim mengesampingkan saksi yang dihadirkan para terdakwa dengan anggapan terdapat konflik kepentingan, padahal seharusnya hakim fokus ke substansi keterangan.
“Terlebih ada keterangan saksi 3 (tiga) orang yang langsung melihat dengan jelas penyiksaan yang dialami oleh para terdakwa. Lalu pemilik Motor Honda Vario B 4956 yang dijadikan barang bukti menjelaskan bahwa motor tersebut berada dalam penguasaan dia sejak tanggal 23 sampai dengan 24 Juli 2021,” jelas Teo.
Baca juga: Kontras dan LBH Jakarta: Vonis Ringan Begal Salah Tangkap di Bekasi Tunjukkan Hakim Ragu-ragu
Keterangan yang diabaikan juga termasuk keterangan ahli telematika Roy Suryo yang memastikan bahwa foto hasil rekaman CCTV pada 24 Juli 2021 dini hari di sebuah musala sinkron dengan foto Fikry.
Teo juga menyampaikan alasan lain, mulai dari barang bukti arit yang tidak dapat dibuktikan hubungannya dengan terdakwa Abdul Rohman yang dituduh membacok korban, digunakannya penyidik sebagai saksi dan BAP sebagai alat bukti, hingga diabaikannya hasil investigasi Komnas HAM yang menemukan terjadinya penyiksaan terhadap para terdakwa oleh polisi supaya mengaku sebagai begal.
“Selain alasan substansi persidangan, dalam memutus perkara ini kelihatan jelas majelis hakim ragu-ragu dan mengetahui bahwa para terdakwa tidak bersalah, namun tetap menghukum dengan bersiasat, tapi yang ditabrak adalah asas dan hukum,” jelasnya.
“Berdasarkan hal tersebut kami menilai selain telah terjadi salah tangkap (error in persona), penyiksaan (torture), penuntutan jahat (malicious prosecution), juga telah terselenggara peradilan sesat (miscarriage of justice) terhadap para terdakwa,” tutup Teo.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.