Pencitraan
Pengamat politik dari UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Adi Prayitno mengakui, bagi kepala daerah, predikat WTP merupakan hal yang penting agar mereka dipandang sebagai sosok yang baik dan bersih.
"WTP itu positif bagi kepala daerah karena dinilai kinerjanya baik dan bersih dari segi laporan keuangan. Wajar kalau kepala daerah berlomba-lomba pamer WTP dari BPK karena bisa buat jualan politik tentu untuk mendapat simpati rakyat," kata Adi kepada Kompas.com.
Akan tetapi, senada dengan Egi, ia menilai predikat WTP tak menjamin seorang kepala daerah bersih dari praktik korupsi dan suap.
Baca juga: FITRA: Opini WTP Sarat Celah Korupsi dan Kongkalikong
Menurut Adi, kasus dugaan suap Ade Yasin menuebalkan kecurigaan publik bahwa predikat WTP dapat diperjualbelikan dengan praktik suap.
"Kasus Ade Yasin ini jadi bukti sahih bawah WTP hanya pengakuan formalitas dan sering berbeda dengan realitasnya," ujar Adi.
Pengamat politik dari Universitas Al Azhar menambahkan, di mata pemilih, predikat WTP juga menjadi salah satu faktor yang dipertimbangkan sebelum memilih kepala daerah.
Baca juga: Di Balik Pesona WTP yang Membuat Bupati Ade Yasin Terjerumus Suap...
Namun, sekali lagi, predikat WTP bisa saja menipu rakyat karena predikat itu dapat diraih melalui lobi-lobi maupun suap seperti yang terjadi di Bogor.
"Masyarakat tahunya apa yang di atas kertas, bukan pada hal di belakang layar. Di atas kertas WTP, bagi rakyat bahwa bupatinya tak korupsi. Padahal, di belakang layarnya belum tentu," kata Ujang.
Terlepas dari penggunaan predikat WTP sebagai alat jualan politik, BPK diminta segera berbenah dengan terulangnya kasus korupsi jual beli predikat WTP.
Bercermin dari kasus Ade, Egi menilai instrumen pengawasan internal yang dimiliki oleh BPK gagal menjalankan fungsinya.
"Ini menunjukkan BPK tidak pernah serius membenahi instansinya. Padahal BPK adalah salah satu lembaga yang mestinya menjadi garda terdepan dalam pemberantasan korupsi," ujar Egi.