Mari kita lihat negara tercinta ini
Semakin banyak oknum katanya
Yang menjilat sana-sini
Lidah yang bukan main panjangnya
Bisa menjilat siapa saja
hamba taat penjilat nikmat
Mulai dari kalangan mahasiswa sampai penguasa negara
Semua berlomba-lomba memiliki kekuasaan
Tak ingin sedikit pun diganggu dengan aturan
karena nikmat menjadi nomor satu
Urusan perut tak boleh dicatut
Inilah yang terjadi
Inilah yang terlihat
Bukan sok bijak
Bukan sok suci
Hanya merasa sedih
Hanya merasa sakit
Bahwa legalitas hanya sebatas tanda tangan di atas kertas
Legitimasi dijadikan jalan mencari kursi
Tangan di atas meja tak lagi suci
Tak lagi bersih
Berdebu, usang dan tak berprikemanusiaan
Kesengsaraan muncul ke atas permukaan
Enggan pergi
Enggan menghilang
Ia akan terus menghantui
Kekuasaan yang tak perduli akan keadilan
Kekuasaan yang buta akan kemanusiaan
Kekuasaan yang digunakan untuk menjatuhkan
Segala sisi kebaikan yang mencoba hidup
Negara tercinta ini semakin banyak memiliki warna
Namun saling pudarkan satu sama lainnya
Bicara ideologi kanan kiri sudah tak patut lagi
Tak boleh dilakukan di lorong manapun
Semua harus nurut dengan segala aturan yang tak patut
Semakin banyak warna yang mulai hilang
Bahan bacaan yang menebalkan warna dihilangkan
DIHARAMKAN
Dijadikan barang bukti penangkapan
Literasi dikatakan pembodohan
Literasi semakin terpinggirkan
Literatur berdebu dan usang
Literatur semakin tak berharga dan dijauhkan
Menyedihkan
Semua hilang
Kemanusiaan
Keadilan
karena lapar kekuasaan lapang kesengsaraan
Mari kita nikmati saja semuanya
Aku khawatir
Yang sadar mulai enggan berbicara
Mulai hilang dari perabadan
karena aturan pesanan
Kejam memang
Tapi semua itu adalah kenyataan
Kita harus mulai membangun kembali
Kemanusiaan yang mulai runtuh
Keadilan yang perlahan menghilang
Berkat laparnya kekuasaan
Rakyat kecil hanya bisa menerima lapang dada kesengsaraan
Setiap hari harus menjadi sarapan
Bahwa setiap perjuangan hanya sebuah kesia-siaan
Semua bisa dibeli dengan uang yang terlanjur dituhankan
Sajak “Lapar Kekuasaan Lapang Kesengsaraan” yang saya temukan di laman Lelahbersajak.com ini begitu gamblang menukilkan fenomena kekuasaan yang membutakan.
Dari kacamata kekuasaan, asal uang menjadi kabur karena begitu laparnya mereka yang berkuasa.
Pemberi uang pun juga samar, karena kekuasaan sangat mendamba uang dengan segala cara.
Tidak ada yang menyangka, pilar kokoh kekuasaan beberapa periode kerabat Yasin di Bogor, Jawa Barat, akhirnya runtuh juga.
Setelah sang kakak Rahmat Yasin menjadi Bupati Bogor untuk dua periode (2008-2014), sang adik – Ade Munawaroh Yasin - meneruskan dinasti politik keluarga dengan menjadi penerusnya sebagai Bupati Bogor (2018-2020).
Sementara istri Rahmat Yasin, Elly Halimah Rachmat Yasin masih aktif sebagai anggota Komisi VI DPR RI dari Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan tengah menakhodai PPP Kabupaten Bogor sebagai ketua.
Ketiganya dikenal sebagai politisi handal dan kini dua di antaranya, yakni kakak adik, Rahmat dan Ade berakhir sama sebagai pelaku rasuah.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah menggelar operasi tangkap tangan (OTT) terbaru dengan menangkap Bupati Bogor Ade Yasin, perwakilan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Jawa Barat serta rekanan swasta (Rabu, 27/4/2020).
Sejak menang sebagai bupati terpilih dari Pilkada 2018, strategi politiknya banyak dikagumi lawan-lawan politiknya.