Problem penegakan hukum pidana pemilu juga setidaknya dapat dilihat dari masing-masing komponen dalam sistem hukum yang secara langsung berpengaruh terhadap penegakan hukum.
Baca juga: Kode Inisiatif: Ada 48,26 Persen Pelanggaran dan Pidana Pemilu di Pilkada 2020
Lawrence M Friedman menilai, berhasil atau tidaknya hukum ditegakkan tergantung pada tiga komponen sistem hukum. Pertama, substansi hukum (legal substance). Substansi hukum adalah aturan, norma, dan pola prilaku nyata manusia yang berada dalam sistem itu.
Kedua, struktur hukum (legal structure) atau struktur sistem hukum. Friedman menyebutnya sebagai kerangka atau rangka atau bagian yang tetap bertahan atau bagian yang memberi semacam bentuk dan batasan terhadap keseluruhan. Keberadaan struktur hukum sangat penting, karena betapapun bagusnya norma hukum, namun jika tidak ditopang aparat penegak hukum yang baik, penegakan hukum dan keadilan hanya sia-sia.
Ketiga, budaya hukum (legal culture). Kultur hukum adalah opini-opini, keyakinan-keyakinan, kebiasaan-kebisaaan, cara berfikir, dan cara bertindak, baik dari para penegak hukum maupun dari warga masyarakat tentang hukum dan berbagai fenomena yang berkaitan dengan hukum (Ali, 2009).
Berangkat dari tiga komponen tersebut, belum efektifnya penegakan hukum pidana pemilu juga tidak dapat dilepaskan dari masalah yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan pemilu, khususnya terkait tindak pidana pemilu; masalah profesionalisme aparat penegakan hukum yang terdiri dari pengawas pemilu, kepolisian, kejaksanaan dan hakim pada pengadilan negeri dan pengadilan tinggi; dan budaya hukum penyelenggaraan pemilu juga jadi soal tersendiri.
Pada taraf norma, peraturan perundang-undangan sebagaimana diulas di atas belum cukup jelas dan lengkap mengatur hukum material maupun hukum formal. Bahkan hukum formal yang ada tidak cukup memadai untuk menegakkan hukum pidana pemilu secara efektif. Sementara pada level struktur, penegak hukum dihadapkan pada persoalan masih belum memadainya pemahaman aparatur terhadap jenis tindak pidana pemilu yang berujung pada kebuntuan dalam menangani perkara pidana pemilu.
Sedangkan pada ranah budaya hukum, pihak-pihak berkepentingan, terutama peserta pemilu masih berkecenderungan untuk mengakali aturan yang ada sehingga dapat berkelit dari tuntutan hukum. Masyarakat politik bukannya membangun kesadaran akan perlunya mengikuti pemilu sesuai aturan-aturan yang ada, tetapi justru membangun sikap culas atas aturan yang ada (Santoso, 2017).
Tiga persoalan penegakan hukum pidana pemilu tersebut bercokol sedemikian rupa sehingga penegakan hukum pemilu masih menyisakan soal. Akibatnya, perkara-perkara dugaan tindak pidana pemilu pun tidak tertangani dengan baik.
Jelang Pemilu Serentak 2024, sistem penanganan tindak pidana pemilu masih membutuhkan pembenahan agar dapat diterapkan dengan baik dan efektif untuk menjadi salah satu instrumen mewujudkan pemilu yang jujur dan adil. Perbaikan sistem penanganan meliputi perbaikan regulasi lewat revisi UU Pemilu; penguatan kapasitas dan profesionalisme penegak hukum pemilu; dan peningkatan kesadaran hukum seluruh pemangku kepentingan pemilu wajib dilakukan. Tanpa melakukan itu, sistem penanganan tindak pidana pemilu tidak akan berhasil untuk mewujudkan pemilu yang jujur dan adil.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.