“Tidak ada bencana yang lebih besar dari keinginan yang berlebihan. Tidak ada rasa bersalah yang lebih besar dari pada ketidakpuasan. Dan tidak ada bencana yang lebih besar dari pada keserakahan." - Lao Tzu.
Tidak ada yang menyangka, seorang suami dan empat orang anak akan kehilangan sosok seorang ibu yang wafat karena antre minyak goreng.
Rita Ariyani (49), warga Samarinda, Kalimantan Timur meninggal dunia setelah mengantre berjam-jam di pusat grosir untuk mendapatkan minyak goreng, Minggu (13/3/2022).
Perjuangan Rita untuk mendapatkan minyak goreng terbilang gigih. Usai berkeliling ke beberapa swalayan setempat untuk membeli minyak goreng, namun gagal mendapatkannya, Rita akhirnya ikut mengantre di salah satu pusat grosir yang berada di Jalan AW Syahranie, Kelurahan Sempaja Barat, Kecamatan Samarinda Ulu.
Rita sempat dibawa ke RSUD AW Syahranie untuk mendapatkan perawatan, namun dua hari berselang, Rita akhirnya meninggal dunia pada Selasa (15/3/2022).
Diduga Rita kelelahan akibat mencari hingga mengantre berjam-jam untuk mendapatkan minyak goreng (Kompas.com, 17/03/2022).
Beberapa bulan terakhir ini, wajah kehidupan “wong cilik” di tanah air begitu mirip dengan Sri Lanka dan negara-negara miskin di Benua Afrika sana.
Puluhan warga harus rela mengantre dalam barisan panjang hanya untuk mendapatkan “minyak goreng”.
Pemandangan warga “mengular” berjam-jam untuk memperoleh minyak goreng dengan harga terjangkau, menjadi galib ditemui dimana-mana.
Mengular walau bukan ular. Minyak goreng begitu dicari. Kosong melompong dideretan rak-rak di berbagai toko swalayan dan lenyap di pasar-pasar.
Belum lagi derita pengusaha kecil dan mikro, yang jenis usahanya sangat bergantung dengan minyak goreng.
Penjual gorengan, warung tegal di pinggir kampung, penjual kerupuk, hingga usaha katering rumahan sangat terpukul dengan kelangkaan minyak goreng di pasaran.
Bagi keluarga berekonomi mapan, tentu masalah tirisnya minyak goreng tidak begitu masalah. Ada minyak goreng jenis lain yang berharga mahal seperti minyak zaitun atau mengalihkan pola memasak dengan air friyer.
Tetapi bagi keluarga berekonomi “megap-megap” ketidakhadiran minyak goreng di dapur adalah malapetaka.
Dan hal ini tidak dirasakan oleh petinggi-petinggi di republik ini, apalagi para pejabat di kementerian yang mengurusi perdagangan.
Bahkan “topik” minyak goreng dijadikan tuntutan aksi unjuk rasa yang digelar sejumlah elemen buruh yang tergabung dalam Gerakan Buruh Bersama Rakyat (Gebrak) dan Aliansi Mahasiswa Indonesia (AMI) di Gedung DPR/MPR hari Kamis kemarin (21/4/2022).
Salah satu tuntutan pengujuk rasa adalah turunnya harga minyak goreng, pengusutan kasus mafia minyak goreng dan meminta menteri perdagangan untuk mundur (Kompas.com, 21/04/2022).
Politisi sibuk memaki dan menyalahkan tata niaga dan alur produksi minyak goreng.
Pemerintah juga kelimpungan mencari akar penyebab raibnya minyak goreng di negeri yang berlimpah tumbuh pohon sawit.
Sementara menteri yang mengurusi perdagangan, menyebut ada mafia tanpa bisa merujuk siapa mafianya.
Ibarat maling teriak maling, ternyata maling itu pernah “berbisik” kepada sang menteri saat rapat kerja dengan Komisi VI DPR, Kamis (17/3/2022).