Tidak sedikit ketentuan-ketentuan internasional maupun nasional lahir untuk melindungi dan menjamin terpenuhinya hak-hak asasi manusia termasuk hak untuk berpartisipasi dalam memilih dan dipilih dalam pemerintahan.
Ketentuan tersebut telah diratifikasi Indonesia melalui Undang-undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenan Civil and Political Rights (Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik).
Ketentuan yang lebih spesifik dan banyak menjadi rujukan dalam standar penyelenggaraan pemilu adalah Declaration on Criteria For Free and Fair Election yang diangkat secara bulat oleh Dewan Antar Parlemen pada sesi pertemuan 154 di Paris 26 Maret 1994.
Secara umum materi yang diatur dalam deklarasi tersebut ditujukan untuk menjamin hak setiap warga negara secara bebas dan setara untuk ikut memilih dan dipilih tanpa membedakan latar belakang suku, agama, ras, warna kulit, dan kelompok manapun.
Tiga hal yang menjadi perhatian utama deklarasi tersebut adalah: pertama, voting and elections rights (hak-hak pemilihan dan pemungutan suara).
Kedua, candidature, party, campaign rights and responsibilities (pencalonan, partai, dan hak-hak kampanye dan tanggungjawab).
Ketiga, the rights and responsibility of states (hak-hak dan tanggung jawab negara).
Perhatian Deklarasi Pemilu Bebas dan Jujur terhadap tiga poin di atas, secara tidak langsung memposisikan ketiga bagian tersebut merupakan simpul-simpul krusial yang sangat potensial terjadi pelanggaran dalam tahapan proses penyelenggaraan pemilu.
Perlakuan yang baik dengan penuh kehati-hatian terhadap ketiga poin beserta turunannya dapat meminimalkan keberatan dan sengketa pemilu.
Sekalipun setiap poin menuntut adanya yurisdiksi berwenang, mandiri, adil, jujur, dan tidak memihak yang dapat menyelesaikan jika terjadi keberatan dan sengketa, tetapi jika didalami ketiga poin tersebut memberikan penekanan bahwa penyelesaian keberatan dan sengketa yang baik adalah mencegah sedini mungkin agar tidak terjadi pelanggaran melalui mekanisme kerja penyelenggara pemilu yang independen, profesional, transparan, akuntabel, efesien, dan efektif.
Meskipun demikian, perangkat lembaga yang berwenang untuk menyelesaikan keberatan dan sengketa tetap dipersiapkan.
Hal itu tampak mendapat penekanan yang lebih serius terutama jika terjadi kekerasan terhadap hak asasi manusia dan keberatan yang berhubungan dengan proses pemilu.
Filosofi hak-hak asasi manusia yang mendasari setiap konstruksi gagasan deklarasi pemilu bebas dan jujur memetakan kelembagaan penyelesaian sengketa didasarkan pada derajat keseriusan pelanggaran hak-hak asasi manusia.
Terhadap pelanggaran administrasi dan pelanggaran pidana ringan yang bersifat personal cukup dengan sebuah lembaga keberatan pemilu.
Untuk pelanggaran terhadap proses pemilu yang terkategori besar seperti terorganisir, sistematis, dan masif serta memiliki dampak luas terhadap pelanggaran HAM dan tatanan tertib politik yang lebih luas, penyelesaiannya menuntut sebuah lembaga yang memiliki otoritas besar oleh lembaga peradilan yang mandiri, adil, jujur, dan tidak memihak.
Cukup banyak model penataan kelembagaan penyelesaian keberatan dan sengketa pemilu yang berkembang dalam praktik negara-negara di dunia.
Semuanya tumbuh menurut latar belakang sejarah, sosial, politik, hukum, dan budaya dari masing-masing negara.
Tidak ada format tunggal di antara banyak model yang jauh lebih sukses di banding yang lainnya.
Semuanya tergantung pada kesungguhan dan kemauan politik para pihak yang terlibat didalamnya.
Secara garis besar, model-model kelembagaan penyelesaian keberatan dan sengketa pemilu yang berkembang di dunia dibagi dalam tiga bentuk: pertama, Badan Penyelenggara Pemilu (Election Management Body); kedua, Komisi Keberatan Pemilu (Election Complaint Commision); dan ketiga, peradilan pemilu (Electoral Tribunal).
Berdasarkan Pasal 466 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, sengketa proses pemilu meliputi sengketa yang terjadi antarpeserta pemilu dan sengketa yang terjadi antara peserta pemilu dengan penyelenggara pemilu sebagai akibat dikeluarkannya keputusan KPU, KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota.
Ketentuan tersebut terdapat dalam Pasal 102 ayat (3), 468 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, dan Pasal 4 ayat (1), Pasal 5 ayat (3) Peraturan Badan Pengawas Pemilihan Umum Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2019 Tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan Badan Pengawas Pemilihan Umum Nomor 18 Tahun 2017 Tentang Tata Cara Penyelesaian Sengketa Proses Pemilihan Umum.