SEBAIK apapun sistem penyelenggaraan pemilu yang dirancang, selalu terdapat kemungkinan terjadinya pelanggaran yang dapat mereduksi kualitas pemilu.
Untuk itu, sistem penyelenggaraan pemilu yang baik membutuhkan mekanisme kelembagaan terpercaya untuk menyelesaikan berbagai jenis keberatan dan sengketa pemilu.
Mekanisme kelembagaan dimaksud tidak sekadar menyelesaikan sengketa pemilu, tetapi juga menjadi tempat memperjuangkan dan melindungi hak-hak warga negara dari pelanggaran.
Pada saat yang sama, hal itu juga berfungsi memperbaiki dan meluruskan kembali sekaligus memulihkan marwah pemilu sebagai landasan terbentuknya legitimasi pemerintahan yang terpercaya.
Mekanisme sistem penyelenggaraan pemilu 2024 yang rumit disertai informasi dan tingkat pengetahuan yang lemah terhadap penyelesaian sengketa pemilu akan berpotensi menjadi sumber masalah dalam menangani kasus-kasus sengketa pemilu.
Masalah fundamental yang paling berbahaya adalah ketika publik meragukan hasil pemilu. Selain dapat mendelegitimasi juga dapat menimbulkan sikap antipati terhadap pemerintahan yang terpilih.
Bahkan lebih jauh dapat mengganggu stabilitas sosial, politik, dan pemerintahan.
Besarnya ekspektasi masyarakat terhadap pemilu sebagai sarana revolusi politik dan pemerintahan, mendorong beberapa negara di dunia yang tengah dalam konsolidasi demokrasi membentuk institusi-institusi.
Tidak saja penyelenggara pemilu yang independen, tetapi juga mekanisme kelembagaan yang dapat menyelesaikan keberatan dan rasa tidak puas terhadap berbagai pelanggaran selama dalam proses hingga hasil perhitungan suara dan penentuan calon terpilih.
Umumnya negara-negara di dunia termasuk Indonesia membagi dua term penyelesaian sengketa pemilu, yakni:
Pertama, penyelesaian sengketa yang terjadi selama dalam proses tahapan pemilu. Kedua, penyelesaian sengketa hasil pemilu.
Term penyelesaian sengketa selama dalam proses pemilu diselesaikan melalui Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), dan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) untuk aspek-aspek yang berdimensi administrasi.
Sedangkan pelanggaran pidana dengan kategori tertentu dapat dilakukan di tingkat pengadilan negeri.
Selanjutnya term penyelesaian sengketa hasil pemilu dan penetapan calon terpilih menjadi kompetensi Mahkamah Konstitusi (MK).
Banyak pelajaran yang dapat dipetik dari berbagai standar penyelesaian keberatan dan Sengketa Pemilu.
Tidak sedikit kelompok reformis dan revolusioner di dunia berhasil meruntuhkan rezim otoriter, tetapi gagal dalam melakukan konsolidasi demokrasi hingga mengalami krisis politik berkepanjangan.
Kegagalan bukan karena ketidaksuksesan melakukan reformasi konstitusi dalam menata sistem ketatanegaraan secara menyeluruh, tapi lebih disebabkan oleh teknis penyelenggaraan pemilu yang tidak terencana dengan baik dengan perangkat sistem kelembagaan yang kurang memadai dalam menjamin dan melindungi hak suara setiap warga negara dalam proses pemilu yang jujur dan adil.
Artinya sistem penyelenggaraan pemilu yang baik bukan saja karena kesuksesan memungut suara, tetapi harus mampu menjamin bahwa suara dari setiap warga negara sampai dan didengar melalui perhitungan yang akurat dan benar hingga ditetapkannya calon-calon terpilih.
Oleh sebab itu, performa sistem penyelenggaraan pemilu yang baik, sejauh mungkin dapat mengantisipasi dan meminimalisir terjadinya pelanggaran dan sengketa pemilu.
Jikapun berbagai pelanggaran dan keberatan hingga berakhir dengan sengketa sulit dihindari, tetapi senantiasa tersedia mekanisme kelembagaan yang kapabel, transparan, akuntabel, efisien, efektif, sederhana, dan berkepastian hukum dalam menyelesaikan berbagai keberatan dan sengketa untuk memulihkan hak-hak warga negara yang terlanggar dan kepercayaan terhadap pemilu serta pemerintahan terpilih.
Kesederhanaan proses penyelesaian sengketa pemilu tidak hanya terletak pada hukum acara atau proseduralnya saja, tetapi juga terkait dengan substansi pengaturan setiap tahapan pemilu yang jelas sebagai tolok ukur dalam menilai setiap materi gugatan dan pembuktian.
Secara umum prinsip dasar penyelesaian keberatan dan sengketa pemilu bertujuan menjamin dan memastikan bahwa hak-hak setiap warga negara untuk berpartisipasi dalam pemerintahan demokrasi tersampaikan dan didengar.