Oleh: Frangky Selamat*
KATA “pulang” mungkin begitu sering diucapkan oleh sebagian orang menjelang akhir bulan April, di bulan Ramadhan, menyongsong Hari Raya Idul Fitri yang sudah di depan mata.
Ada yang menahan air mata yang menggenang di pelupuk agar tak jatuh menetes ketika mengingat pandemi yang telah meluluhlantakan kehidupan, saat tak bisa bersama lagi, bersilahturahmi dengan handai taulan, di kampung halaman, di hari raya yang Fitri.
Pemerintah telah memberikan restu kepada masyarakat untuk mudik tahun ini yang puncaknya diperkirakan terjadi pada 28-30 April 2022.
Kementerian Perhubungan dan Kepolisian Republik Indonesia telah mengantisipasi kepadatan lalu lintas dengan rencana kebijakan ganjil genap, satu arah, contra flow, buka tutup rest area di sejumlah ruas tol Trans Jawa pada puncak arus mudik.
Diperkirakan terjadi kepadatan yang melibatkan 80-85 juta orang pemudik dengan 23 juta mobil pribadi dan 17 juta sepeda motor.
Uang yang dibawa pulang para pemudik dari THR yang telah dibayarkan pemerintah dan perusahaan makin menyemarakkan mudik di kampung halaman.
Pemerintah meyakini jumlah uang lebih besar yang telah dibayarkan kepada para Aparatur Sipil Negara (ASN) akan menambah daya konsumsi, yang selanjutnya dapat mendongkrak pertumbuhan ekonomi di triwulan kedua 2022, meski sejumlah pengamat ekonomi meragukannya (Kompas, 19 April 2022).
Kontribusi yang tidak cuma dari ASN tetapi juga pegawai swasta diharapkan dapat memberikan daya ungkit yang cukup untuk menggairahkan ekonomi di kala mudik.
Fenomena pulang kampung juga terjadi di sejumlah negara seperti China ketika Tahun Baru Imlek tiba atau imigran di sejumlah negara Eropa.
Hal ini menarik para sosiolog untuk mengetahui lebih jauh dorongan di balik semangat untuk pulang ke tanah asal atau kampung halaman.
Penelitian dengan mewawancarai para imigran di Brussels, Belgia, memperlihatkan lima temuan yang menarik untuk dicermati (Gaviria, 2012).
Pertama, dengan pulang ke kampung halaman dirasa dapat manyalurkan kekuatan penyembuhan (healing), menginspirasi, serta memberi perlindungan secara fisik, sembari merayakan dan menyantap hidangan tradisional bersama teman dan keluarga.
Healing dan inspirasi menjadi kekuatan utama, penyemangat kembali ke kehidupan nyata tatkala rutinitas kehidupan kota merasuk ke setiap individu yang terlibat.
Kedua, para pemudik di tanah rantau kuatir jika tidak diakui lagi sebagai penduduk lokal di tempat asal dan “dipaksa” membangun kehidupan dari nol lagi di kampung halaman.