JAKARTA, KOMPAS.com - Rumah di kawasan Kalibata, Jakarta Selatan itu penuh dengan tamu yang hendak melayat pada 29 April 1991. Mereka hendak menyampaikan doa dan memberi penghormatan terakhir kepada Prof. Dr. Julie Sulianti Saroso yang wafat di Rumah Sakit Tebet, Jakarta Selatan, setelah terjatuh di kamar mandi.
Jasad sang profesor dimasukkan ke liang lahat pada 30 April 1991 di taman pemakaman umum Karet Bivak, Jakarta Pusat dengan upacara militer dipimpin inspektur upacara Menkes dr Adhyatma, MPH., seperti dikutip dari surat kabar Kompas edisi 2 Mei 1991.
Rosihan Anwar dalam artikel di surat kabar Kompas edisi 3 Mei 1991 menuliskan kenangan tentang Syuul, panggilan akrab Sulianti.
Syuul adalah anak dr Sulaiman yang lahir di Karangasem, Bali, pada 10 Mei 1917. Dia lantas merantau ke Bandung dan belajar di sekolah Gymnasium sampai lulus pada 1935.
Setelah itu, Syuul mengikuti jejak ayahnya dengan masuk ke Sekolah Tinggi Kedokteran Geneeskundige Hoge School-GHS) di Batavia. Dia kemudian lulus pada 1942 dan bekerja sebagai dokter pada Centrale Burgelijke Ziekenhuis (CBZ, kini Rumah Sakit Dr. Cipto Mangunkusomo).
Di masa kolonial tidak banyak jumlah dokter wanita Indonesia dan Syuul termasuk yang menonjol. Sebagai mahasiswa kedokteran ia menarik perhatian, karena cantik, lincah dalam pergaulan dan cakap dalam olah raga karena gemar bermain tenis.
Memang saat itu tidak mudah bagi golongan Bumiputra untuk bisa masuk sekolah kedokteran. Syuul mendapat keistimewaan karena keluarganya dianggap terpandang atau kelompok elite.
Menurut penuturan seorang wartawan surat kabar De Java Bode, kata Rosihan, Syuul disebut dengan istilah de Javaanse elite in Batavia seperti keluarga dr Oerip, dr Latip atau de regenten families van Bandung, Buitenzorg, Cianjur yang sosialisasi mereka dijepret oleh fotograf dan dimuat dalam majalah Belanda De Orient.
Pada masa itu, kata Rosihan, Syuul tidak banyak menaruh minat pada persoalan politik. Namun, keadaan itu berubah dengan datangnya zaman pendudukan Jepang dan setelah berlangsung Perang Kemerdekaan (1945-1949).
Dalam masa perjuangan, Syuul di samping jadi dokter di RS Bethesda di Yogyakarta di bangsal penyakit dalam dan penyakit anak, juga aktif dalam pergerakan, menjadi anggota dewan pimpinan Kongres Wanita Indonesia (Kowani) dan duduk dalam Badan Kongres Pemuda Republik Indonesia sebagai wakil Pemuda Putri Indonesia (PPI).
Syuul mengusahakan obat dan makanan untuk para pemuda dan pejuang dan dia sendiri mengantarkannya ke Tambun (Jawa Barat), Gresik, Demak dan sekitar Yogyakarta.
Pada 1947 Syuul dikirim ke India untuk menghadiri Kongres Wanita Seluruh India sebagai wakil Kowani bersama dengan Ny Utami Suryadarma. Ia menumpang pesawat terbang kepunyaan pengusaha India Biju Patnaik yang pada masa itu menjadi blockade runner, menembus blokade yang dipasang oleh Belanda.
Syuul kembali pada Juli 1948, dari New Delhi ke Bukittinggi, menuju Yogyakarta, bersama Suparto dan sekretarisnya Suripno. Syuul waktu itu tidak mengetahui bahwa Suparto sesungguhnya adalah Muso yang segera setibanya di Yogya membubarkan Front Demokrasi Rakyat (FDR) dan mengaktifkan Partai Komunis Indonesia (PKI). Sepak terjang Muso berakhir dalam Pemberontakan di Madiun September 1948 yang ditumpas oleh Pemerintah RI dan pada tewasnya Muso.
Mentor Syuul dalam pendidikan politik pada tahun-tahun itu adalah Subadio Sastrosatomo, anggota Badan Pekerja KNIP (Komite Nasional Indonesia Pusat), kemudian ketua fraksi Partai Sosialis Indonesia (PSI) dalam Parlemen. Saat itu dia sempat disindir karena pengetahuannya tentang politik yang dianggap minim.
"Ibu saya, wanita biasa, lebih tahu politik daripada kau, Syuul," ujar Subadio.