JAKARTA, KOMPAS.com - Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Kepresidenan (KSP) Ali Mochtar Ngabalin berbagi cerita soal pengalaman berkesan menjalani ibadah puasa Ramadhan di kampung halamannya, Fakfak, Papua Barat.
Pengalaman itu dijalaninya ketika masih duduk di bangku sekolah dasar (SD) hingga sekolah menengah pertama (SMP).
Ngabalin menuturkan, salah satu yang menyenangkan saat itu adalah menyantap masakan rumah yang dibuat oleh ibunya.
Baca juga: WNI di Mekkah Ungkap Masjidil Haram Kembali Ramai Saat Ramadhan
Menurutnya, hidangan menjadi lebih enak karena bahan makanan yang digunakan masih dan didapat dari kebun setempat.
"Di kampung enak rasanya karena bisa makan apa saja ada (saat berbuka dan sahur). Makan kolak, makan ikan, makan sayur yang hebat dari Umi-ku (sebutan untuk ibu)," ujar Ngabalin ketika dijumpai di Bina Graha, Jakarta pada 12 April lalu.
"Ada sayur kangkung tumis, sayur labu, sayur daun kelor, sayur singkong santan, ikan goreng. Aduh...seperti mau berbuka puasa rasanya," kelakarnya.
Tak hanya soal santapan, Ngabalin pun menceritakan pengalamannya membantu ibu menyiapkan hidangan berbuka dan sahur.
Baca juga: 6 PSK Terjaring Razia Satpol PP dan Dinsos Kabupaten Bekasi pada Bulan Ramadhan
Ngabalin melanjutkan, dia bersama kakak dan adiknya yang semuanya laki-laki, kerap diminta mengambil air, mencuci beras hingga memarut kelapa.
Pengalaman-pengalaman itulah yang sudah lama tak dirasakannya.
Sebab setelah sekolah menengah atas (SMA), kuliah hingga berkarier saat dewasa dihabiskannya di tanah rantau, baik Makassar maupun Jakarta.
"Saat-saat ini tidak bisa kita rasakan itu sebab makanan dibeli semua. Beli jadi. Buka puasa kita tak bisa rasakan makanan seperti saat kecil. Masa SD dan SMP itu yang menyenangkan," tuturnya.
Baca juga: Ramadhan: Momentum Healing, Meraih Kebahagiaan
Ngabalin mengatakan, saat ini dirinya lebih sering berbuka puasa di Kantor KSP maupun di rumah bersama istri.
Sementara, anak-anaknya tinggal terpisah karena sedang menempuh pendidikan tinggi.
Meski kondisi saat ini baginya sudah serba ada dan serba mudah, tapi Ngabalin mengakui cukup sulit memberi kesan tentang puasa Ramadhan.
"Susah memberikan kesan. Saya kepingin, terbang ke Papua dan puasa dengan Ibuku ya. Kalau Bapakku kan sudah meninggal. Dan juga bisa bertemu kerabat, kawan di kampung," ungkapnya.
Dia juga mengenang sejumlah kebiasaan lain saat berpuasa di Fakfak, yakni saat bepergian ke masjid untuk ibadah shalat tarawih dengan membawa penerang berupa obor.
Baca juga: Malona Qunua, Tradisi Warga Baubau di Pertengahan Ramadhan
Ngabalin menuturkan, pergi ke masjid dengan membawa obor merupakan hal lumrah dilakukan sekitar 45 tahun lalu.
Sambil berjalan ke masjid, dia dan teman-temannya memanggil teman-teman lain untuk diajak beribadah bersama.
"Saat sahur juga begitu. Kita panggil teman-teman dan orang-orang untuk sahur. Sekarang sumia sudah lengkap, semua hebat. Zaman memang sudah berubah," tambahnya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.