Oleh: Ratna Batara Munti *
SEORANG gadis muda diperkosa tetangganya, yang merupakan mantan pacarnya. Korban alami depresi berat dan pernah ingin bunuh diri.
Korban yang saat itu tengah hamil empat bulan, sempat didampingi keluarganya ke pusat layanan terpadu milik pemerintah untuk meminta pendampingan psikologis. Namun tidak direspon dengan alasan psikolog terbatas, hanya ada dua psikolog yang menyisihkan waktu di antara jadwal mengajarnya yang padat di sebuah kampus.
Korban sudah dua kali melapor ke kantor polisi setempat. Namun laporannya tidak diterima. Bahkan, setelah didampingi pendamping hukum untuk kembali melaporkan ke Unit Pelayanan Perempuan dan Anak (UPPA) polres setempat, tetap gagal meyakinkan kepolisian untuk menerbitkan surat laporan polisi.
Baca juga: FPL: 9 Jenis Tindak Kekerasan Seksual dalam RUU PKS Nyata Terjadi
Keterangan korban tidak dipercaya penyidik. Pernyataan-pernyataan seperti “kok mau dibawa pelaku”, “korban kan sudah dewasa”, “maaf tidak ada pasalnya” , “ini sulit dibuktikan ada paksaannya” dan seterusnya sering kali muncul.
Saat korban pada akhirnya alami kelahiran prematur dan ingin melakukan tes DNA, meskipun ada anggaran untuk Tes DNA yang disediakan provinsi, tetap saja gagal diakses karena korban tidak berhasil mendapat surat pengantar dari kepolisian.
Fenomena di atas mewakili kebanyakan kasus perkosaan yang dialami perempuan, dengan pelaku orang dekat atau dikenal korban seperti pacarnya, mantan pacar, atau teman sebaya tidak mudah diproses laporannya. Pasalnya, sejak awal keterangan korban sudah diragukan.
Pengalaman perempuan korban perkosaan tidak di-recognize oleh aparat hukum. Bahwa korban jalan dengan pelaku bukan berarti dia mau berhubungan seksual, bahkan ketika korban setuju dengan satu atau lebih bentuk keintiman tertentu.
Sikap dan pandangan yang dibangun masih cenderung menoleransi pelaku ketimbang korban perkosaan.
Dalam proses pelaporan, sikap yang ditampilkan penyidik alih-alih empati terhadap korban, justru lebih kental kecurigaan, seolah korban “bukanlah perempuan baik-baik”.
Bila ditelusuri, aturan perkosaan dalam Pasal 285 KUHP mensyaratkan adanya unsur paksaan dengan penggunaan kekerasan atau ancaman kekerasan.
Syarat itu sudah membatasi pengalaman korban sejak awal (pelaporan). Meskipun RKUHP sudah memperluas cakupan defenisi perkosaan, tetapi tetap dibatasi oleh unsur yang sama (Pasal 479 (1) RKUHP).
Faktanya, perkosaan yang dialami perempuan tidak selalu melibatkan penggunaan kekerasan atau ancaman kekerasan.
Modusnya bisa seperti dengan tipu muslihat, membuat korban tidak berdaya, ancaman/tekanan psikis dan bentuk-bentuk lainnya yang biasanya dilakukan oleh orang yang dikenal atau memiliki hubungan dekat dengan korban.
Dalam konteks perkosaan, korban mungkin saja setuju terhadap beberapa bentuk keintiman, tetapi tidak untuk melakukan hubungan seksual, atau setuju untuk melakukan hubungan seksual tetapi kemudian memutuskan menghentikan atau menolak untuk melanjutkan, tetapi pelaku tetap memaksakan kehendaknya.
Baca juga: Poin-poin Penting Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual